Oleh: Ari Subiakto
Meskipun Abu Umar al-Shishani adalah komandan Mujahidin Chechen yang paling
terkenal dan menjadi pusat pemberitaan media massa sepanjang berlangsungnya
konflik di Suriah dan Irak, namun sebenarnya komandan Mujahidin Chechen di
Suriah yang paling senior dan memiliki pengalaman paling banyak di medan jihad
adalah Muslim Abu Walid al-Shishani, komandan kelompok Jundu as-Sham yang berpusat di kota Latakia.
Muslim Abu Walid al-Shishani komandan
kelompok Mujahidin Jundu as-Sham yang
bermarkas di kota Latakia, Suriah.
Muslim yang memiliki nama asli Murad Margoshvili lahir pada tanggal 26 Mei
1972 di desa Akhmeta, tak jauh dari desa kelahiran Abu Umar di Birkiani,
wilayah Pankisi Gorge, Georgia. Meskipun pemerintah Amerika dan dunia
internasional menganggap Muslim sebagai teroris yang paling dicari dan
berbahaya, tapi bagi warga desa Akhmeta yang pernah mengenalnya, tidak ada satu
pun hal buruk mengenai dirinya. Mereka dengan jujur mengatakan bahwa Muslim
adalah pribadi yang sangat kalem dan bersahabat, bahkan sejak masih
kanak-kanak.
Temur, salah seorang kerabatnya, menceritakan mengenai masa kecil Murad; “Kami tumbuh besar bersama, meskipun dia
tidak pergi ke sekolah. Keluarganya sangat miskin, dan seperti hampir semua
anak lainnya, dia menggembalakan domba. Murad kemudian pindah ke Rusia bersama
dengan orangtuanya dan mendapatkan pendidikan dasarnya di sana.”
Selama tinggal di Rusia, Murad
sempat masuk ke dalam dinas ketentaraan Uni Soviet, dimana ia mendapatkan
pelatihan dan pengalaman militernya yang pertama. Dalam dinas AD Uni Soviet
tersebut, Murad ditempatkan di divisi pertahanan udara yang berpangkalan di
Moldova, dan ketika masa tugas wajib militernya telah selesai, Murad bersama keluarganya
pun pulang kembali ke desanya di Pankisi Gorge untuk sementara waktu.
“Murad sebenarnya sangat cerdas dan semua orang menyayangkan dirinya
yang tidak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi,” lanjut Temur. “Kemudian, seluruh keluarganya pindah ke
Grozny dan Murad mendapatkan pekerjaan di sana sebagai seorang kuli bangunan.
Saat pecah Perang Chechnya Pertama, kami semua ikut berjuang. Karena Murad
pernah di militer, dia memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan para
sukarelawan yang tidak terlatih. Usai perang yang pertama, dia bergabung dengan
Emir Khattab yang memiliki sejumlah kamp di pegunungan dan Murad menjadi
instruktur bagi para pendatang baru. Usai kematian Khattab, dia menjadi tangan
kanan Abu al-Walid (penerus Emir Khattab). Saat Perang Chechnya Kedua dimulai,
Murad menjadi komandan pasukan yang terkemuka. Orang-orang Rusia mencarinya
siang dan malam.”
Selama bergabung dengan kelompok
mujahidin pimpinan Komandan Khattab yang kemudian diteruskan oleh Abu al-Walid,
dimana sebagian besar anggotanya adalah para Mujahidin Arab atau mereka yang
berasal dari luar wilayah Chechnya, Murad banyak mengenal dan bekerja sama dengan sejumlah tokoh penting pejuang
Chechen, seperti Shamil Basayev. Murad juga tergabung dalam International Islamic Peacekeeping Brigade,
pasukan yang dibentuk oleh Shamil Basayev dan Komandan Khattab untuk memerangi
tentara pendudukan Rusia di wilayah Dagestan pada tahun 1999 atau tak lama
sebelum pecahnya Perang Chechnya II.
Selama ikut berjihad dalam Perang Chechnya II (1999-2000), Murad sempat
ditunjuk sebagai komandan Mujahidin untuk wilayah Vedeno, dan pada tahun 2002,
atas perintah dari Abu al-Walid, Murad ditugaskan untuk membentuk front baru di
Distrik Sunzha, dimana di wilayah itu Murad berhasil membangun kekuatan pasukan
pejuang Chechen yang berjumlah cukup besar.
Dalam sebuah pertemuan antar
komandan pejuang Chechen, Murad menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan
Shamil Basayev, komandan Mujahidin Chechnya yang legendaris.
Namun pada tanggal 7 Oktober 2003, para petugas di “Orjonikidze Station”, Ingushetia,
menghentikan mobil yang ditumpangi Murad, dan ia pun ditahan bersama beberapa
orang lainnya. Setelah penangkapan itu, kabar mengenai Murad tidak lagi
diketahui rimbanya. Baru pada tanggal 2 Februari 2006 diketahui bahwa selama
dua tahun lebih Murad ditahan dalam Penjara Vladikavkaz yang dioperasikan oleh
pihak FSB (dinas intelejen Rusia). Pihak FSB menyalahkannya atas serangkaian
serangan teroris di kota Mozdok dan berusaha untuk membuatnya mengaku, tetapi
Murad tidak bersalah ataupun terlibat dengan apa yang dituduhkan kepadanya.
Bagaimana upaya pihak Rusia untuk membuat orang-orang Chechen yang tidak
bersalah, seperti Murad, untuk mengaku tentunya sudah tidak perlu dipertanyakan
lagi. Siksaan yang kejam dan brutal adalah jawabannya. Namun begitu,
orang-orang Rusia gagal mendapatkan pengakuan dari Murad. Karena gagal, mereka
pun kemudian mengalihkan sasarannya kepada janda salah seorang komandan pejuang
Chechnya yang juga mereka tahan di penjara yang sama. Pemerkosaan adalah
prosedur standar bagi para wanita Chechen yang ditahan dalam penjara Rusia.
Mereka pun akhirnya mendapatkan testimoni dari janda tersebut yang menyatakan
bahwa Murad terlibat.
Pada tanggal 2 Februari tersebut,
di kota Nazran, digelarlah sidang pengadilan tinggi terhadap kasus penahanan
Murad. Para hakim sangat terkejut saat melihat sang tertuduh (Murad) – semua
kuku jarinya terlepas dan satu giginya tanggal…. Siksaan yang dijalaninya pasti
sungguh tak terbayangkan. Selama jalannya proses pengadilan, wanita yang
sedianya akan memberikan testimoni yang memberatkan Murad ternyata menyatakan
bahwa ia dipaksa untuk memberikan testimoni tersebut. Ia mengatakan bahwa
agen-agen FSB Rusia telah mengancamnya akan melakukan aborsi paksa bila ia
tidak mau menandatangani testimoni yang disodorkan kepadanya. Pernyataan dari
wanita ini tentu saja membuat orang-orang Rusia marah karena juri pengadilan
secara bulat memutuskan Murad tidak bersalah mengingat tidak ada cukup bukti
keterlibatan Murad dalam aksi terorisme yang dituduhkan kepadanya. Hakim Isa
Gadziev pun lalu memutuskan agar Murad dibebaskan dari tahanan.
Namun bagian yang paling menarik
dari proses persidangan Murad tersebut adalah insiden yang terjadi sesudahnya.
Seperti yang dituturkan oleh Nodar Daushvili, pengacara Murad, dalam sebuah
petikan wawancara untuk Novaya Gazeta,
“Ketika sidang pengadilan masih
berlangsung, ada tiga orang berpakaian tempur terlihat gelisah di ruangan
sidang. Ketika jalannya sidang berakhir, salah seorang dari mereka menghilang
entah kemana. Beberapa menit kemudian saya menoleh keluar jendela dan melihat
sebuah minibus melaju masuk ke halaman, pintunya terbuka dan keluarlah sekitar
selusin orang berseragam loreng yang segera merangsek masuk ke dalam gedung. Saya
langsung menyadari bahwa mereka datang untuk menculik Murad. Kami segera
melewati satu celah sempit – Murad yang hanya bisa berjalan tertatih-tatih
(karena siksaan yang dideritanya) dibantu oleh sejumlah petugas polisi yang
mengawalnya, keluar dari gedung sidang melalui sebuah tangga rahasia.”
Untuk menghindari ancaman para
agen intelejen pemerintah Rusia yang ingin membunuhnya, juga untuk menjalani
perawatan medis akibat siksaan yang selama ini dialaminya di penjara, Murad pun
secara diam-diam pergi menyeberang ke Georgia. Setelah kesehatannya pulih
kembali, Murad segera berusaha mengontak pihak Emirat Kaukasus. Ia menyatakan
keinginannya untuk bergabung dan meminta kepada mereka agar bisa membantu
mengusahakannya kembali masuk ke wilayah Chechnya. Namun dengan bahasa yang
baik, pihak Emirat Kaukasus menjawab bahwa mereka tidak bisa memenuhi
permintaan Murad karena mereka tidak memiliki alasan yang kuat untuk
mempercayai Murad, mengingat Murad pernah menghabiskan waktu lama di penjara
Rusia, sehingga mereka tak mau mengambil resiko kemungkinan Murad kini bekerja
untuk pihak Rusia bila mereka menerimanya kembali, meskipun mereka tahu bahwa
pihak Rusia telah gagal membuat Murad mengaku. Murad yang tidak bisa bergabung
dengan pihak Emirat Kaukasus, akhirnya memutuskan untuk membentuk kelompok
bersenjatanya sendiri dan berupaya menyeberang ke Dagestan, namun gagal.
Kesempatan untuk memerangi Rusia
datang ketika pecah perang antara Rusia dengan Georgia. Temur kemudian
menceritakan, “Ketika Perang Agustus pecah
di tahun 2008, banyak pemuda berkumpul di Pankisi Gorge (terdapat sekitar 250
orang, termasuk Murad), dan mengirim seorang utusan kepada pemerintah Georgia,
untuk mengatakan bahwa mereka akan sangat senang pergi berperang jika
diperlukan. Menteri Dalam Negeri meresponnya dengan jawaban “Kami akan
memanggil kalian jika diperlukan”. Para pemuda mengatakan, “Apa jadi soal
dimana kami bertempur melawan Rusia? Jihad adalah Jihad, di mana pun
tempatnya.” Anda mungkin tidak percaya kepada saya, namun saat ini bagi Murad,
bertempur melawan Assad sama artinya bertempur melawan Rusia. Setelah perang
berakhir, Murad, bersama dengan Ahmed Chataev dan ‘Dushman’ mengawasi pelatihan
sejumlah kelompok bersenjata, meski hal ini tidak dikonfirmasi secara resmi.”
Peran sertanya dalam memerang
tentara Rusia ketika berlangsungnya perang antara Georgia dengan Rusia, membuat
pihak Emirat Kaukasus mengingat kembali namanya. Suatu hari, Murad mendapatkan
video rekaman berisi pernyataan dari Doku Umarov yang menginsyaratkan bahwa Umarov
membutuhkan para pejuang yang telah berpengalaman dan meminta mereka untuk
kembali. Momentum tersebut bersamaan dengan dibukanya kembali jalur aman dari
Georgia ke Dagestan. Menurut keterangan dari orang yang dekat dengan Murad saat
itu, kelompok bersenjata pimpinan Murad memang berniat untuk menggunakan jalur
aman tersebut untuk pergi ke Dagestan.
Murad Margoshvili (kedua dari kiri) bersama sejumlah
pejuang Chechen yang tergabung dalam kelompoknya selama periode antara tahun
2008 – 2010.
Tapi sebelum Murad sempat pergi
ke Dagestan dan masuk kembali ke wilayah Chechnya untuk berbai’at kepada Doku
Umarov, terjadi satu masalah. Dalam sebuah wawancara, Murad menceritakan, “Saat saya dengar bahwa ada satu kelompok
dari saudara-saudara kami yang berupaya untuk menyeberang ke Dagestan.
Orang-orang Rusia mengetahui tentang mereka dan telah mempersiapkan sebuah
penyergapan. Saya tidak dapat menghubungi Doku, tapi berusaha untuk
memperingatkan beliau mengenai resiko bahwa kelompok tersebut kemungkinan akan
dihabisi oleh pasukan Rusia. Namun begitu, saya gagal dan kelompok tersebut
dibasmi oleh pemerintah Georgia. (Murad mencontohkan satu operasi kontra
teroris di Lopota). Pihak Emirat Kaukasus segera mulai mencari siapa yang
bertanggung jawab, dan sekali lagi, Emir mencurigai saya. Tak seorang pun di
pihak Emirat yang ingin mendengar penjelasan saya, akhirnya saya meninggalkan
Georgia, pindah ke Turki dan kemudian ke Suriah untuk mengobarkan jihad saya
sendiri.”
Belakangan pihak Emirat Kaukasus
mengetahui bahwa Murad yang kini dikenal sebagai Muslim Abu Walid al-Shishani
telah berada di Suriah dan meminta kepadanya untuk bertempur di bawah bendera
Emirat Kaukasus, tetapi Murad dengan tegas menolaknya. Murad yang telah
memperoleh kembali status dan nama besarnya sebagai seorang panglima pasukan
Mujahidin, sebelumnya telah berkonsultasi dengan sejumlah ulama jihad, juga
dengan Abu Umar dan Saifullah
al-Shishani, mengenai
statusnya sebagai Mujahidin Kaukasus yang berjihad di Suriah. Hampir semuanya mengatakan bahwa bai’at kepada Dokka Umarov diwajibkan hanya apabila seorang Mujahidin berada di dalam wilayah yang dikuasai oleh Amir Mujahidin
Kaukasus tersebut. Namun karena faktanya Umarov tidaklah mengontrol wilayah Suriah, maka Muslim pun
kemudian memutuskan untuk beroperasi
secara independen.
Saat pertama kali tiba di Suriah
pada tahun 2012, Muslim baru melihat hanya ada beberapa orang Muhajirin
(pejuang asing) di Suriah. Sebagian besar dari mereka bergabung dengan Jabhat al-Nusrah dan Ahrar Sham. Sementara di kalangan Ansar
(pejuang lokal), seperti di banyak tempat lainnya dimana jihad baru dimulai,
Muslim banyak melihat perilaku jahiliyah karena kurangnya pengetahuan dan
pemahaman agama mereka. Namun begitu, sebagian besar dari mereka sebenarnya
mencintai Islam dan menginginkan Islam tegak di tanah mereka.
Bagi Muslim, Suriah merupakan
Chechnya kedua. Berbekal pengalaman yang diadopsi dari Komandan Khattab dan
para Mujahidin Arab yang pernah berjihad di Chechnya, Muslim bersama sejumlah
rekannya kemudian mulai bergerak dan bekerja. Membenahi terlebih dahulu kondisi
masyarakat Suriah sebelum mulai mempersiapkan pembentukan kelompok jihad.
Bersama-sama dengan masyarakat setempat dan para ulama, Muslim membantu
mendirikan sebuah madrasah di Latakia. Dengan program pendidikan selama 3
bulan, banyak warga Suriah yang minim pengetahuan agamanya diajak dan diajarkan
sampai mereka bisa shalat dan berdoa dengan baik.
Selain madrasah untuk umum,
sebuah sekolah untuk anak-anak juga dibuka. Dengan masa belajar selama sebulan,
anak-anak tinggal dan diberi makan di sekolah tersebut. Mereka diajarkan
tentang dasar-dasar ilmu agama. Bahkan di bulan pertama, sebanyak 50 orang anak
yang belajar di sekolah tersebut, terpaksa tidak dapat genap sebulan belajar
karena telah menunggu lebih dari 100 orang anak lainnya yang diantar oleh
orangtuanya untuk mengantri masuk ke sekolah tersebut.
Muslim juga ikut serta membantu
membuka kembali sebanyak 17 masjid yang sebelumnya telah ditutup. Melalui
masjid-masjid tersebut, dakwah diorganisasikan, shalat berjamaah ditegakkan,
dan doa bersama dilakukan. Mereka yang berdakwah dan bekerja sama tersebut
tidak hanya dari warga sipil saja, tetapi juga dari kelompok Tentara Pembebasan
Suriah (FSA), sehingga hasilnya pun mulai terlihat dengan baik. Setelah tatanan
masyarakat yang lebih baik dan Islami sudah mulai terlihat, Muslim pun mulai
melaksanakan tahap kedua dari agendanya di Suriah, yaitu membentuk satu
kelompok jihad untuk memerangi kekejaman rezim Bashar al-Assad.
Kelompok jihad yang dibentuk oleh
Muslim Abu Walid al-Shishani ini diberi nama Junud as-Sham (Tentara Syam) dan bermarkas di Latakia. Kelompok
jihad ini bersifat independen, tidak tergabung atau menginduk pada
kelompok-kelompok jihad lokal yang ada di Suriah, juga bukan merupakan representasi
dari Emirat Kaukasus. Namun begitu, kelompok ini cenderung bekerja sama dengan Jabhat al-Nusrah dan kelompok-kelompok
jihad yang sealiran. Kekuatan personil kelompok Junud as-Sham diperkirakan berjumlah sekitar 300 personil
mujahidin.
Junud as-Sham mulai dikenal ketika ikut berpartisipasi dalam operasi
ofensif Latakia pada tahun 2014 bersama-sama dengan para pejuang dari Front
Islam, Front al-Nusrah dan Harakat Islam Sham. Ketiganya menyatukan kekuatan
mereka dalam suatu operasi gabungan melawan pasukan rezim Assad dan milisi
Syiah yang berada di kota Latakia. Sebelumnya, Muslim juga menjalin kerja sama
dengan Saifullah al-Shishani untuk melancarkan operasi penyerbuan ke Penjara
Pusat kota Aleppo untuk membebaskan tahanan yang disiksa oleh rezim Assad.
Namun sayangnya, serangan ini berakhir dengan kegagalan dan gugurnya Saifullah.
Selain
ikut terlibat aktif dalam berbagai operasi ofensif melawan rezim Assad, Muslim
juga membangun kamp-kamp pelatihan militer di Latakia untuk menampung dan
melatih para mujahidin asing yang datang ke Suriah. Kini, di Suriah, Muslim Abu
Walid al-Shishani menjalankan peran yang sama dengan yang pernah dilakukan oleh
Sheikh Abdullah Azzam di Afghanistan atau Komandan Khattab di Chechnya. Hal ini
menunjukkan bahwa regenerasi kaum Mujahidin akan tetap terus ada. Selama masih
ada umat Islam yang tertindas dan teraniaya, maka di sanalah akan lahir
mujahidin-mujahidin baru yang akan bangkit memberikan perlawanan. (***)