Thursday, January 30, 2014

JIHAD SURIAH DAN MASA DEPAN EMIRAT KAUKASUS



Oleh : Ari Subiakto



Saat tersiar kabar tentang adanya para mujahidin asal Chechnya dan wilayah Kaukasus Utara yang berjihad di Suriah untuk melawan rezim Bassar al-Assad, banyak pihak yang merasa heran dan bertanya-tanya. Kenapa mereka justru berjihad di Suriah, padahal wilayah Kaukasus sendiri yang merupakan tanah air mereka masih terjajah dan tertindas oleh Rusia? Kenapa mereka tidak memilih bergabung dengan Dokka Umarov, Amir Emirat Kaukasus, untuk bersama-sama berjuang membebaskan wilayah Kaukasus dari penjajahan Rusia? Banyak pengamat menilai fakta ini sebagai sebuah ironi.

Dokka Umarov sendiri pada mulanya merasa keberatan dan kecewa dengan kenyataan adanya warga Chechnya dan wilayah Kaukasus Utara yang berjihad dan bertempur di Suriah. Umarov bahkan menegaskan bahwa mereka tidak berada di bawah komando dan tanggung jawab negara Emirat Kaukasus pimpinannya. Mereka berjuang secara independen dan berangkat atas keinginan pribadi tanpa koordinasi ataupun perintah dari Umarov. Apakah ini pertanda bahwa jihad di wilayah Kaukasus Utara melawan penjajah Rusia sudah tidak lagi memiliki prospek ke depan?


Dokka Umarov, Amir negara Islam Emirat Kaukasus.


Dalam tulisan sebelumnya (“Mujahidin Chechnya Bertempur di Suriah”) telah diungkapkan bahwa banyaknya warga asal Chechnya dan Kaukasus Utara yang berjihad di Suriah bukan dikarenakan jihad di wilayah Kaukasus melawan Rusia sudah tidak lagi memiliki prospek atau karena adanya perpecahan internal di kalangan mujahidin Emirat Kaukasus pimpinan Dokka Umarov, melainkan lebih dikarenakan oleh kondisi di lapangan yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk bergabung dengan Dokka Umarov.

Seperti yang diketahui bahwa para Mujahidin Chechen yang berjihad di Suriah bukanlah warga Chechnya yang tinggal di wilayah Chechnya yang tergabung atau tengah berjihad bersama Dokka Umarov, melainkan adalah warga etnis Chechen yang tinggal di luar wilayah Chechnya. Baik itu yang tinggal di Georgia (Pankisi Gorge), suatu wilayah pegunungan di perbatasan Georgia-Chechnya yang banyak dihuni orang-orang etnis Chechen yang dikenal sebagai kaum Kists, atau yang tinggal dan tersebar (diaspora) di berbagai negara-negara Eropa, seperti Turki, yang menjadi tempat tujuan mengungsi atau mencari suaka selama pecahnya Perang Chechnya. Orang-orang Chechen tersebut kesulitan untuk dapat pulang kembali ke tanah airnya karena pemerintah Rusia menghalang-halangi mereka, dimana wilayah perbatasan menuju ke Chechnya kini dijaga sangat ketat oleh pemerintah Rusia. Kondisi ini membuat orang-orang Chechen yang berada di luar tanah airnya tidak bisa bergabung bersama saudara-saudaranya di Chechnya, dan akhirnya lebih memilih untuk berjihad di luar tanah airnya. Namun apakah kondisi ini telah membuat orang-orang Chechen melupakan perjuangan mereka untuk meraih kemerdekaan dan penegakan syariat Islam di tanah airnya? Tentu saja tidak. Karena semua ini ternyata hanyalah bagian dari skenario besar Allah untuk menolong Mujahidin Kaukasus.

Meski perjuangan di wilayah Kaukasus Utara dalam melawan penjajah Rusia dan kaki tangannya masih tetap terus berlangsung, namun saat ini perang gerilya di pegunungan yang dilakukan oleh para Mujahidin Kaukasus pimpinan Dokka Umarov terasa semakin sulit dan berat. Selain banyaknya tokoh pejuang Kaukasus yang gugur oleh operasi-operasi pasukan khusus Rusia, para Mujahidin Kaukasus juga tengah menghadapi masalah logistik dan pelatihan. Para pemuda yang berminat dan datang dari berbagai penjuru wilayah Kaukasus untuk bergabung dengan pasukan Mujahidin Emirat Kaukasus sebenarnya memang berjumlah sangat banyak, tapi Dokka Umarov tidak dapat mempersenjatai dan melatih mereka semua.

Selain itu, di wilayah Chechnya sekarang ini sudah tidak ada lagi kamp-kamp pelatihan mujahidin seperti yang pernah didirikan oleh Khattab dan Shamil Basayev. Para pemuda yang ingin berjihad pun harus menunggu lama untuk dapat bergabung dengan para mujahidin yang hidup di wilayah pegunungan. Setelah bergabung, para pemuda yang belum memiliki pengalaman tempur itu harus hidup berpindah-pindah, naik-turun gunung dalam kondisi medan yang berat, yang semuanya itu akan sangat menguras tenaga dan kesabaran. Mereka mungkin akan bosan atau tewas lebih dulu sebelum sempat terlibat dalam satu operasi militer. Itulah sebabnya mengapa Dokka Umarov lebih memprioritaskan operasi militernya dengan melancarkan serangan-serangan pemboman yang bersifat individual di wilayah teritorial Rusia. Meskipun hal tersebut dianggap oleh banyak pihak sebagai aksi terorisme, namun untuk saat ini hanya operasi semacam itulah yang bisa dilakukan secara efektif untuk memerangi pemerintah Rusia.

Kondisi di wilayah kaukasus tersebut sangat jauh berbeda dengan kondisi medan jihad di Suriah. Wilayah perbatasan Suriah relatif terbuka dan tidak seketat atau sesulit perbatasan Chechnya yang bergunung-gunung, sehingga memungkinkan bagi para mujahidin dari berbagai penjuru dunia untuk keluar-masuk ke wilayah negara tersebut untuk melakukan aktifitasnya. Di sana juga terdapat kamp-kamp pelatihan militer dan banyak terbentuk kelompok-kelompok jihad yang muncul bak jamur tumbuh di musim hujan. Karena itu, Suriah adalah tempat yang subur dan tepat bagi para mujahidin untuk berlatih dan menimba pengalaman bertempur. Tidak terkecuali bagi para pemuda etnis Chechen atau dari wilayah Kaukasus lainnya yang selama ini hidup dan tinggal di negeri orang.

Di Suriah, mereka yang belum terlatih akan ditempa oleh medan pertempuran yang sebenarnya, terutama medan pertempuran kota (urban combat). Jika terseleksi, maka dapat dipastikan mereka akan menjadi unit-unit mujahidin yang tangguh dan profesional dalam memerangi orang-orang kafir. Ketika mereka pulang kembali ke tanah airnya di Chechnya atau wilayah Kaukasus Utara lainnya, mereka telah benar-benar siap tempur untuk menghadapi Rusia. Pihak Emirat Kaukasus pun tidak perlu lagi repot-repot untuk mempersenjatai dan melatih mereka. Dengan pengalaman dan hubungan baik yang terjalin antar mujahidin di Suriah, tidak menutup kemungkinan orang-orang Chechen yang berjihad di Suriah akan mampu menciptakan jaringan dan membuka jalan untuk memasok persenjataan dan mendatangkan para militan Islam dari luar untuk berjihad di Kaukasus. Jika ini sampai terjadi, maka habislah Rusia. Prediksi inilah yang kemudian sangat ditakuti oleh pemerintah Rusia.

Namun terlepas dari apa pun upaya yang mungkin dilakukan oleh Rusia untuk mencegah masuknya para mujahidin veteran perang Suriah ke wilayahnya, itu semua hanyalah masalah waktu. Cepat ataupun lambat mereka pasti akan kembali. Orang-orang Chechen itu memang pergi terusir sebagai pengungsi, namun mereka akan kembali lagi ke tanah airnya sebagai pejuang-pejuang yang terlatih. Para komandan mujahidin asal Chechnya di Suriah selalu mewanti-wanti para pemuda etnis Chechen yang berjihad di Suriah untuk tidak melupakan perjuangan di tanah airnya. Seperti yang dikatakan oleh Abu Isa al-Shishani, salah seorang pejuang Chechnya yang turut berjihad di Suriah, Untuk mereka (para pemuda Chechnya) yang telah berada di Suriah, nasehat saya adalah jangan bermalas-malasan untuk terus mendapatkan lebih banyak pengalaman di semua medan pertempuran dan terus mencari kemungkinan untuk pulang kembali ke Kaukasus untuk melanjutkan jihad di sana. Jadilah orang yang tabah dan sabar di segala hal, … Hindari isu dan bicara hal-hal yang tak berguna yang hanya akan melemahkan diri kita. Jangan membuang-buang waktu di satu basis militer jika sedang tidak ada misi tempur. Selanjutnya Abu Isa juga mengatakan, “Sejauh yang bisa saya katakan, Jihad di Suriah, sama seperti Jihad di Kaukasus, adalah pertanda dari kebangkitan Islam dunia.

Hari ini di Suriah, para pemuda dari wilayah Kaukasus bisa mendapatkan pelatihan militer, juga dapat membentuk pribadi mereka sebagai seorang muslim dan memperkuat diri mereka sebagai seorang mujahidin, sehingga mereka kelak akan dapat melakukan penetrasi ke dalam wilayah pendudukan Rusia melalui jalur-jalur “resmi” dan menyerang wilayah Rusia tanpa dikomando, dan cepat atau lambat semua itu akan mengantarkan kepada kejatuhan imperium Rusia yang akan kami paksa untuk mundur dari wilayah Kaukasus seperti halnya mereka mundur dari Afghanistan dan Eropa Timur.

Jadi bagi mereka yang ingin berjihad di wilayah Rusia setelah usai jihad di Suriah harus memiliki satu rencana yang jelas dan bertindak sesuai dengan rencana tersebut, ada baiknya pula mereka perlu menyembunyikan apa yang mereka lakukan di Suriah, jadi jangan sampai mereka tertangkap oleh video atau kamera (yang akan membuat identitas mereka terungkap atau teridentifikasi oleh pihak Rusia, sehingga akibatnya kelak akan sulit bagi mereka untuk dapat masuk ke wilayah Rusia tanpa dikenali).”

Apa yang dikatakan oleh Abu Isa tersebut bukanlah hanya sekedar gertak sambal, apalagi menurut klaim pemerintah Suriah sendiri, seperti yang dilansir oleh pihak EA World View, bahwa sampai awal Desember 2013, ada sekitar 1.700 pejuang muslim Chechnya di Suriah yang ikut bertempur bersama-sama dengan kelompok-kelompok jihad lokal. Mengetahui klaim laporan dari Damaskus ini, pemerintah Rusia tentu saja sangat kaget. Dengan cemas mereka bertanya-tanya, apakah estimasi ini terlalu dibesar-besarkan ataukah memang merupakan suatu fakta di lapangan? Pemerintah Rusia sama sekali tidak menyangka jumlahnya akan sebesar itu. Meski banyak analis, seperti Mairbek Vatchagaev, seorang sejarawan Chechnya dan analis politik di Kaukasus Utara, yang berpendapat bahwa jumlah pejuang Chechen yang bertempur di Suriah kemungkinan hanya berada dalam kisaran puluhan hingga paling banyak 100 orang.

Namun terlepas dari berapa jumlah mereka yang sebenarnya, fakta adanya orang-orang Chechen yang berjihad di Suriah ini akan menjadi ancaman tersendiri yang akan membuat para pejabat pemerintah Rusia dan kaki tangannya tidak dapat tidur nyenyak. Seperti yang diungkapkan oleh Sergei Smirnov, selaku Wakil Direktur Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) yang menyatakan keprihatinan sekaligus wujud ekspresi ketakutan pemerintah Rusia. Ia tak henti-hentinya mengatakan bahwa pejuang Chechnya yang berada di Suriah adalah ancaman, ancaman, dan ancaman serius bagi Rusia. “Mereka akan datang kembali kesini, dan pasti menimbulkan ancaman besar,” ujar Sergei Smirnov.

Selain sebagai ajang untuk melatih diri dan menimba pengalaman bertempur di medan perang yang sebenarnya, tujuan para Mujahidin Chechen dan Kaukasus berjihad di Suriah adalah untuk memberikan pukulan terhadap sekutu utama Rusia di wilayah Timur Tengah, sehingga perjuangan mereka melawan rezim Bassar al-Assad di Suriah sama saja dengan memberikan pukulan secara tidak langsung terhadap pemerintah Rusia. Pukulan ini memang tidak memberikan dampak secara langsung yang bisa terlihat, namun akan sangat terasa pengaruhnya bagi Rusia di masa yang akan datang, dimana sedikit-banyaknya pihak Rusia dipastikan akan mengeluarkan anggaran lebih atau tenaga dan upaya ekstra untuk membantu sekutunya di wilayah Timur Tengah tersebut.

Dari informasi yang dikeluarkan oleh pihak Kavkaz Center, diketahui sebuah fakta yang menarik, bahwa di Suriah, Mujahidin Chechnya ternyata juga bertempur melawan musuh yang sama seperti di negeri asalnya, yaitu tentara penjajah Rusia. Fakta mengenai hal ini pertama kali diungkap oleh Kavkaz Center pada pertengahan bulan November 2013 lalu, yang menampilkan sejumlah foto personil tentara bayaran (mercenaries) asal Rusia yang bertempur untuk membantu rezim Alawiyah Nushairiyyah Bashar al-Assad.

Tentara bayaran asal Rusia ini menyebut diri mereka sebagai “Korps Slavia”. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa mereka adalah para purnawirawaan pasukan khusus (Spetsnaz) atau dari unit tentara AU Rusia (paratroopers), anggota polisi unit khusus, polisi anti huru-hara, dan gerombolan bersenjata yang diberhentikan dari unit kesatuannya (desertir). Tidak menutup kemungkinan bahwa mereka itu adalah para veteran Perang Chechnya yang telah banyak melakukan tindak kejahatan perang dan kemanusiaan selama bertugas di wilayah Chechnya.


Korps Slavia, tentara bayaran (mercenaries) asal Rusia yang bertempur membantu rezim Bashar al-Assad di Suriah.


Informasi dari Kavkaz Center ini kemudian mendorong pihak surat kabar Petersburg Fontanka melakukan investigasi sendiri atas dugaan keterlibatan tentara bayaran Rusia dalam konflik di Suriah. Pihak Fontanka berhasil mewawancarai sekelompok tentara bayaran Rusia dan mendapatkan informasi terkait mengenai beberapa rincian partisipasi mereka dalam konflik di Suriah. Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa pihak militer Suriah menempatkan batalyon tentara bayaran Rusia ke dalam pasukan cadangan. Di bulan Oktober 2013, jumlah kekuatan “Korps Slavia” ini adalah sebesar 267 personil yang terbagi ke dalam 2 kompi. Mereka selain diperlengkapi dengan senapan serbu seri AK, juga dilengkapi dengan senapan mesin berat dan pelontar granat. Sementara untuk senjata anti-pesawat dan mortar yang mereka pakai boleh dibilang dari model yang sudah usang dan merupakan sisa-sisa peninggalan Perang Dunia II antara tahun 1939 – 1943. Batalyon tentara bayaran Rusia ini dilengkapi pula dengan empat tank tempur T-72 dan beberapa ranpur lapis baja seri BMP untuk mobilitasnya.

Untuk menghadapi kekuatan perlawanan para Mujahidin, pihak militer Suriah ternyata tidak hanya menyewa tentara bayaran asal Rusia, namun juga dari Iran dan milisi Hizbullah yang merupakan sekutu Syiah mereka. Jumlah tentara bayaran tersebut bahkan mencapai hingga ribuan. Padahal selama ini rezim Bashar al-Assad selalu gencar melontarkan tuduhan bahwa kaum pemberontak Suriah didukung oleh para teroris asing dan bukan dari rakyatnya sendiri. Meskipun lucunya, Assad yang Syiah itu mengklaim dirinya masih tetap didukung oleh rakyat Suriah yang mayoritas warga Sunni dan menentang ajaran Alawiyah.

Faktor penyebab mengapa pemerintah Suriah sampai menyewa begitu banyak tentara bayaran juga terungkap dari keterangan Abu Isa al-Shishani yang mengatakan bahwa, “… tentara Assad mengalami demoralisasi dan kehilangan motivasi untuk bertempur. Terlepas adanya dukungan yang kuat dari Rusia, Iran, dan Cina. Tentara Assad sebenarnya mengalami intimidasi internal yang membuat mereka terpaksa untuk berperang. Hanya tentara bayaran dari Iran dan Lebanon (milisi Hizbullah) yang semangat untuk berperang, namun itu pun demi uang yang banyak.

Kondisi yang diungkapkan oleh Abu Isa tersebut secara tidak langsung juga turut dibenarkan oleh pidato Sekjen Hezbollah sendiri, Hassan Nasrullah, yang mengungkapkan bahwa tanpa dukungan sekutu-sekutunya, rezim Bashar al-Assad dapat dipastikan sudah jatuh sejak dulu. Rezim Assad benar-benar sangat tergantung kepada sekutu-sekutunya, terutama dari Rusia, Iran, dan milisi Syiah Hezbollah di Lebanon, untuk dapat tetap melanggengkan kekuasaannya. (***)


Sumber Website:


http://www.kavkazcenter.com


http://www.eaworldview.com


http://www.shoutussalam.com

MENGENAL SOSOK ABU OMAR AL-SHISHANI



Oleh : Ari Subiakto


Sejak terbuktinya keterlibatan para militan Islam dari wilayah Kaukasus dalam konflik di Suriah, nama Abu Omar al-Chechen pun mulai mencuat sebagai tokoh mujahidin asing asal Chechnya yang menjadi pemimpin militer paling berpengaruh dan berperan penting dalam memerangi rezim Bassar al-Assad. Pada mulanya, para analis dan pihak media massa hanya dapat berspekulasi mengenai asal-usul Abu Omar al-Chechen. Mereka menduga bahwa Abu Omar adalah seorang veteran Perang Chechnya dari negara Islam Emirat Kaukasus pimpinan Dokka Umarov. Namun akhirnya diketahui bahwa Abu Omar adalah warga Georgia dari etnis Chechen yang berasal dari wilayah Pankisi Gorge, suatu wilayah di perbatasan Chechnya-Georgia yang memang banyak dihuni oleh penduduk etnis Chechen yang dikenal sebagai kaum Kists.

Abu Omar al-Chechen atau Abu Umar al-Shishani lahir pada tahun 1986 di desa Birkiani, wilayah Pankisi Gorge, Georgia, dengan nama asli Tarkhan Batirashvili. Saat pecah Perang Chechnya II antara tahun 1999-2000, wilayah Pankisi adalah pusat transit utama bagi para pejuang Chechen yang mundur dan hendak membangun kembali kekuatan mereka untuk memerangi pasukan penjajah Rusia. Menurut keterangan dari ayahnya, Temuri, Tarkhan yang pada saat itu masih berusia remaja secara diam-diam kerap kali menolong para militan Chechen untuk kembali masuk ke wilayah Chechnya, bahkan terkadang ikut bergabung bersama mereka melawan milisi pemerintah yang didukung Rusia.

Setelah menamatkan sekolah menengah atasnya, di tahun 2006, Batirashvili masuk menjadi prajurit AD Georgia. Menurut keterangan mantan komandannya, Malkhaz Topuria, yang pernah merekrutnya untuk masuk ke dalam unit pengintai khusus (special reconnaissance), Batirashvili berhasil membuktikan dirinya sebagai seorang master dalam berbagai jenis persenjataan dan pemetaan. “Batirashvili terkenal santai dan populer di kalangan tentara dan dia menjauhi diskusi agama, meskipun ia mengaku berasal dari keluarga Muslim,” ujar Topuria.

Ia dengan cepat naik pangkat dan dipromosikan menjadi seorang sersan dalam sebuah unit intelejen yang baru dibentuk dengan gaji bulanannya mencapai 700 USD. Selama pecah Perang Rusia-Georgia di tahun 2008, Batirashvili bertugas di dekat garis depan untuk mengintai kolom-kolom pasukan tank Rusia dan memberitahukan letak koordinatnya kepada unit-unit artileri pasukan Georgia.

Tarkhan Batirashvili alias Abu Omar al-Chechen (kiri) saat masih menjadi anggota tentara Georgia.

Batirashvili yang tidak pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah Georgia atas pengabdian militernya, pada tahun 2010 didiagnosa menderita penyakit tuberculosis (TBC). Setelah dirawat di rumah sakit militer selama beberapa bulan, pada bulan Juni 2010, ia pun diberhentikan dari dinas militer AD Georgia karena dianggap tidak cukup sehat untuk bertugas sebagai seorang tentara. Tak lama setelah diberhentikan dari dinas ketentaraan, musibah datang menimpa Batirashvili, ibunya meninggal dunia setelah bertahun-tahun mengidap penyakit kanker. Ketika pulang kembali ke kampung halamannya, Batirashvili tidak mampu mempertahankan pekerjaan barunya di dinas kepolisian daerah, dan kata ayahnya, ia kemudian menjadi seorang yang "sangat kecewa" dengan hidupnya.

“Dia terlihat sangat gugup dan khawatir mengenai uang,” ujar seorang mantan komandan pasukan Georgia saat bertemu dengan Batirashvili yang ingin membantu militan Islam di Kaukasus Utara melawan Rusia. Ia sempat meminta bantuan kepada mantan komandannya itu untuk menemukan beberapa peta Chechnya di kelas militer Georgia.

Menurut keterangan pihak Kementerian Pertahanan Georgia, Batirashvili pernah ditahan pada bulan September 2010 atas tuduhan membeli dan menyimpan persenjataan ilegal, sehingga ia dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun. Namun kemudian dibebaskan pada awal tahun 2012 karena alasan kesehatan, dan setelah menjalani hukuman selama sekitar 16 bulan. Dalam sebuah wawancara, Batirashvili mengungkapkan bahwa penjara telah mengubah dirinya. Ia pernah bernadzar dengan mengatakan bahwa, “Saya berjanji kepada Allah jika saya keluar dari penjara dalam keadaan hidup, saya akan pergi berjihad di jalan Allah.

Kepada ayahnya, Batirashvili mengatakan bahwa ia akan pergi ke Istanbul, Turki, dimana orang-orang Chechen yang banyak mengungsi ke kota tersebut akan merekrut dirinya untuk dijadikan sebagai komandan pasukan pejuang Islam yang akan pergi bertempur ke Suriah. Ayahnya pun kemudian memakluminya karena beberapa bulan sebelumnya, kakak tertua Batirashvili juga telah pergi lebih dulu ke tempat tujuan yang sama untuk berjihad di Suriah. Orang-orang terdekat Batirashvili mengungkapkan bahwa ia melihat peperangan di Suriah sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan pukulan kepada salah satu sekutu Kremlin (Rusia). Ia juga berkomentar tentang kebenciannya kepada Amerika. Dalam suatu wawancara dengan situs Jihad, ia menggambarkan Amerika sebagai musuh Allah dan musuh umat Islam. Seorang rekannya di AD Georgia mengatakan, “Seperti kebanyakan orang Chechen, ia ingin melawan Kremlin di mana pun ia punya kesempatan.” Batirashvili yang kemudian mengganti namanya menjadi Abu Umar al-Shishani, tiba di Suriah pada bulan Maret 2012.

Ketika pertama kali Batirashvili tiba di Suriah untuk berjihad, ia melihat banyak kenyataan di lapangan yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Banyak para pejuang Suriah yang merokok. Sebagian besar dari mereka mencukur jenggotnya dan suka mendengarkan musik. Spanduk-spanduk revolusi yang mereka bawa pun sama sekali tidak membawa kalimah Tauhid. Aksi-aksi demonstrasi dan slogan-slogan yang disuarakan oleh orang-orang Suriah yang menentang rezim al-Assad tidak ada yang Islami. Isinya lebih kepada menuntut kebebasan dan demokrasi, dimana semua itu bukanlah yang disyariatkan oleh agama Allah. Ternyata mereka hanya menuntut kebebasan untuk mendapatkan demokrasi.

Abu Umar merasa pesimis dengan kondisi umat Islam Suriah yang seperti itu. Tetapi ia telah berjanji kepada Allah untuk pergi berjihad, dan melihat umat Islam di sana sangat membutuhkan pertolongan dari kekejaman rezim Bassar al-Assad. Abu Umar pun teringat firman Allah; ...jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan membela) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan….” (QS. Al-Anfaal: 7)

Pada mulanya, Abu Umar al-Shishani memimpin unit tempurnya sendiri yang bernama Brigade Muhajirin yang terbentuk pada musim panas tahun 2012 dan merupakan kelompok jihad yang anggotanya terdiri dari para pejuang asing yang datang dari luar Suriah. Brigade ini beroperasi secara independen dan tidak bergabung dengan unit-unit pejuang Suriah yang sudah ada karena Abu Umar melihat dasar perjuangan dari sebagian unit pejuang Suriah tersebut yang tidak berdiri di atas kebenaran (Islam). Meski beroperasi secara independen, namun dalam waktu singkat, unit tempur pimpinan al-Shishani telah terlibat dalam berbagai pertempuran sengit melawan rezim pemerintah Suriah, salah satunya adalah dalam Pertempuran Aleppo (Battle of Aleppo).

Pada bulan Oktober 2012, Brigade Muhajirin bekerja sama dengan Front Al-Nusrah (Jabhah Nusrah) yang berhaluan Islam radikal terlibat dalam suatu operasi penyerangan terhadap basis pertahanan udara dan pangkalan rudal Scud milik militer Suriah di Aleppo. Kemudian di bulan Desember 2012, masih bersama-sama dengan Front Al-Nusrah, menyerbu pangkalan AD Suriah, Sheikh Suleiman, di Aleppo Barat. Pada bulan Februari 2013, bersama-sama dengan Brigade Tawhid dan juga Front Al-Nusrah, kembali menyerbu pangkalan militer Suriah, kali ini milik Resimen Ke-80 Suriah yang berada dekat bandar udara utama di Aleppo.

Ketika video tentang dirinya muncul pertama kali di bulan Februari 2013, Abu Omar al-Chechen langsung dikenali oleh rekan-rekannya di dinas angkatan bersenjata Georgia. Mereka berhasil mengidentifikasi seorang pemimpin Jihad yang akhir-akhir ini sering muncul di video yang dibuat oleh para pejuang Suriah. Pria itu berbicara dalam bahasa Rusia dengan aksen Georgia.

Ketika melihat video pertamanya, “Saya langsung mengenalinya,” ujar salah seorang mantan komandan Batirashvili. Walaupun ia mengenakan pakaian tradisional shalwar kameez dan memanjangkan jenggotnya, namun mantan komandannya itu sangat mengenalinya. Dalam video pertamanya tersebut, Batirashvili diidentifikasi sebagai seorang komandan kelompok mujahidin yang menyebut dirinya Brigade Muhajirin, dan menyerukan kepada kaum Muslimin untuk menyumbangkan hartanya di jalan Allah.

Pada tanggal 26 Maret 2013, pihak Kavkaz Center melaporkan bahwa Brigade Muhajirin (Kataeb al-Muhajireen) pimpinan Emir Abu Omar al-Chechen bergabung dengan dua kelompok jihad di Suriah, yaitu Jaish Muhammad dan Kataeb Khattab, untuk membentuk satu pasukan gabungan bernama Jaish al-Muhajireen wal-Anshar atau Tentara Muhajirin dan Anshar.

Tentara Muhajirin dan Anshar bersama Mujahidin ISIS kemudian memainkan peranan kunci saat merebut Lanud Menagh yang dipertahankan oleh sekitar 70 – 120 personil tentara Suriah. Serangan terhadap Lanud Menagh mulai dilancarkan pada tanggal 5 Agustus 2013, dimana dua orang Mujahidin melakukan serangan bunuh diri dengan menggunakan sebuah kendaraan lapis baja penuh bermuatan bahan peledak untuk menembus gedung pusat komando pertahanan udara tentara pemerintah Suriah. Serangan tersebut berhasil meledakkan gedung pusat komando serta menewaskan dan melukai sisa pasukan AD Suriah yang bertahan di Lanud tersebut. Pertempuran sengit terus berlangsung, hingga keesokan paginya, pangkalan udara tersebut pun berhasil dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Mujahidin.

Bergabung dengan ISIS

Pada hari Kamis tanggal 21 November 2013, Abu Omar al-Chechen mengeluarkan pernyataan dalam sebuah video yang di-release oleh situs resmi Tentara Muhajirin dan Anshar, FISyiria.com, yang mengabarkan dirinya telah ber-bai’at kepada Abu Bakar Al-Baghdadi pemimpin Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS). Bersama Abu Omar al-Chechen turut pula berbai’at sejumlah besar mujahidin dari Tentara Muhajirin dan Anshar atau sekitar 80% dari anggota yang dahulu ikut tergabung dalam Brigade Muhajirin, sementara sebagian yang lainnya lebih memilih untuk menunggu “persetujuan” dari Dokka Umarov sebagai Amir Emirat Kaukasus.

Beberapa hari kemudian, tepatnya pada akhir November 2013, kepemimpinan Abu Umar al-Shishani digantikan oleh Salahudin al-Shishani, seorang tokoh komandan pejuang Chechen di Suriah yang paling terkemuka setelah Abu Umar. Pergantian kepemimpinan Tentara Muhajirin dan Anshar ini terjadi karena Salahudin bersama sejumlah anak buahnya menolak untuk mengikuti jejak Abu Omar yang lebih memilih untuk berbai’at kepada Abu Bakar Al-Baghdadi dengan bergabung ke ISIS (Islamic State of Iraq and as-Sham). Para Mujahidin Chechen tersebut menolak ber-bai’at kepada Abu Bakar Al-Baghdadi karena mereka telah bersumpah setia kepada Dokka Umarov selaku Amir negara Islam Emirat Kaukasus yang merupakan pemimpin bagi seluruh mujahidin asal Chechnya dan wilayah Kaukasus Utara.

Selain Salahudin al-Shishani, komandan Mujahidin Chechen lainnya yang menolak untuk mengikuti jejak Abu Umar ber-bai’at kepada Abu Bakar Al-Baghdadi, adalah Emir Syaifullah. Ia bersama dengan 27 orang anak buahnya telah lebih dulu keluar dari Tentara Muhajirin dan Anshar pimpinan Abu Umar pada bulan Agustus 2013 untuk memimpin unit militernya sendiri yang diberi nama Jaisy al Khilafah Islamiyyah (Tentara Kekhilafahan Islam). Emir Syaifullah al-Shishani merupakan veteran Perang Chechnya II pada tahun 1999 yang kemudian hijrah ke Afghanistan pada tahun 2005 untuk berjihad melawan penjajah Amerika, dan pada tahun 2012, memutuskan untuk berjihad ke Suriah. Menurut pihak Soda Al Kawkaz (Suara Kaukasus), unit tempur pimpinan Emir Syaifullah berkekuatan antara 200 hingga 300 personil Mujahidin asal Chechnya. Unit tempur ini aktif beroperasi di wilayah Halab. Jaisy al Khilafah Islamiyyah sendiri kemudian memberikan bai’at-nya dan bergabung dengan Jabhat al-Nusrah pada akhir Desember 2013.

Pertimbangan Abu Omar al-Chechen untuk lebih memilih bergabung dengan Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) bukan karena adanya perpecahan internal atau sudah tidak adanya lagi kesepahaman dalam berjihad dengan unit tempurnya sendiri, melainkan lebih dikarenakan oleh pertimbangan keyakinan, yaitu nubuwah dari Rasulullah SAW tentang kebangkitan Islam dari wilayah Syam yang diyakini oleh Abu Omar berada di tangan para mujahidin yang tergabung dalam ISIS yang selama ini telah berjuang untuk mendirikan negara kekhalifahan Islam yang wilayahnya meliputi Irak dan Syam. Dalam unit militer ISIS sendiri, Abu Umar kemudian ditunjuk untuk menjabat sebagai komandan Front Utara.

ISIS sendiri awalnya berdiri di Irak sebagai organisasi Jihad yang memayungi banyak kelompok perlawanan Irak yang berjuang melawan tentara penjajah Amerika. Abu Umar memandang peperangan yang terjadi di Suriah sebagai peperangan yang sangat penting, tak hanya untuk menggulingkan rezim Assad, tetapi juga merupakan medan pertempuran bersejarah bagi perang suci yang sangat besar yang kelak akan pecah di masa depan, serta untuk merintis pembentukan negara atau kekhalifahan Islam dunia.

Intelijen AS memperkirakan ada sebanyak 17.000 pejuang asing yang turut bertempur bersama-sama dengan Mujahidin Suriah, dimana sekitar setengahnya tergabung dalam kelompok ISIS.  Menurut pejabat Rusia, dari jumlah total tersebut, setidaknya ada seribu orang yang berasal dari wilayah Kaukasus Utara dan sejumlah negara di Eropa yang banyak dihuni warga Chechen yang mengungsi dan mencari suaka sejak pecahnya Perang Chechnya. Meskipun pejuang asal Chechen mewakili sebagian kecil dari kelompok pejuang Suriah, namun banyak dari mereka yang telah naik ke posisi tinggi sebagai komandan pasukan, mengingat pengalaman tempur mereka selama melawan Rusia. Di Suriah, ISIS sendiri menjadi payung utama bagi para pejuang asing yang ingin berjihad di Suriah. Tak hanya dari wilayah Kaukasus, para pemuda muslim juga banyak berdatangan dari Saudi, Kuwait, Mesir, bahkan dari Cina. Mereka semua datang untuk memenuhi panggilan Jihad demi memperjuangkan tegaknya sebuah negara Islam yang menerapkan dan melaksanakan Syariah Islam di Suriah.

Sebagai seorang muslim, Abu Umar al-Shishani tidak lupa berpesan kepada seluruh mujahidin di Suriah bahwa, “Kalian semua yang telah memulai jihad ini karena Allah, janganlah meninggalkannya dan tetap teguhlah diatasnya. Hanya dua pilihan yang kita miliki, yaitu kemenangan atau mati syahid. Dan berhati-hatilah agar tidak tertipu (dengan kemenangan semu) sebagaimana saudara-saudara kalian di Libya dan Mesir yang telah tertipu. Mari kita berusaha untuk menerapkan Syariah Allah yang mana hal ini merupakan kewajiban kita semua.” (***)

Sumber Website:

http://www.arrahmah.com

http://www.eaworldview.com

http://www.shoutussalam.com

http://www.kafilahmujahid.com