Tuesday, May 5, 2015

Perjalanan Jihad Muslim Abu Walid al-Shishani


Oleh: Ari Subiakto

 
Meskipun Abu Umar al-Shishani adalah komandan Mujahidin Chechen yang paling terkenal dan menjadi pusat pemberitaan media massa sepanjang berlangsungnya konflik di Suriah dan Irak, namun sebenarnya komandan Mujahidin Chechen di Suriah yang paling senior dan memiliki pengalaman paling banyak di medan jihad adalah Muslim Abu Walid al-Shishani, komandan kelompok Jundu as-Sham yang berpusat di kota Latakia.



Muslim Abu Walid al-Shishani komandan kelompok Mujahidin Jundu as-Sham yang bermarkas di kota Latakia, Suriah.


Muslim yang memiliki nama asli Murad Margoshvili lahir pada tanggal 26 Mei 1972 di desa Akhmeta, tak jauh dari desa kelahiran Abu Umar di Birkiani, wilayah Pankisi Gorge, Georgia. Meskipun pemerintah Amerika dan dunia internasional menganggap Muslim sebagai teroris yang paling dicari dan berbahaya, tapi bagi warga desa Akhmeta yang pernah mengenalnya, tidak ada satu pun hal buruk mengenai dirinya. Mereka dengan jujur mengatakan bahwa Muslim adalah pribadi yang sangat kalem dan bersahabat, bahkan sejak masih kanak-kanak.


Temur, salah seorang kerabatnya, menceritakan mengenai masa kecil Murad; Kami tumbuh besar bersama, meskipun dia tidak pergi ke sekolah. Keluarganya sangat miskin, dan seperti hampir semua anak lainnya, dia menggembalakan domba. Murad kemudian pindah ke Rusia bersama dengan orangtuanya dan mendapatkan pendidikan dasarnya di sana.


Selama tinggal di Rusia, Murad sempat masuk ke dalam dinas ketentaraan Uni Soviet, dimana ia mendapatkan pelatihan dan pengalaman militernya yang pertama. Dalam dinas AD Uni Soviet tersebut, Murad ditempatkan di divisi pertahanan udara yang berpangkalan di Moldova, dan ketika masa tugas wajib militernya telah selesai, Murad bersama keluarganya pun pulang kembali ke desanya di Pankisi Gorge untuk sementara waktu.


Murad sebenarnya sangat cerdas dan semua orang menyayangkan dirinya yang tidak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi,” lanjut Temur. “Kemudian, seluruh keluarganya pindah ke Grozny dan Murad mendapatkan pekerjaan di sana sebagai seorang kuli bangunan. Saat pecah Perang Chechnya Pertama, kami semua ikut berjuang. Karena Murad pernah di militer, dia memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan para sukarelawan yang tidak terlatih. Usai perang yang pertama, dia bergabung dengan Emir Khattab yang memiliki sejumlah kamp di pegunungan dan Murad menjadi instruktur bagi para pendatang baru. Usai kematian Khattab, dia menjadi tangan kanan Abu al-Walid (penerus Emir Khattab). Saat Perang Chechnya Kedua dimulai, Murad menjadi komandan pasukan yang terkemuka. Orang-orang Rusia mencarinya siang dan malam.


Selama bergabung dengan kelompok mujahidin pimpinan Komandan Khattab yang kemudian diteruskan oleh Abu al-Walid, dimana sebagian besar anggotanya adalah para Mujahidin Arab atau mereka yang berasal dari luar wilayah Chechnya, Murad banyak mengenal dan bekerja sama dengan sejumlah tokoh penting pejuang Chechen, seperti Shamil Basayev. Murad juga tergabung dalam International Islamic Peacekeeping Brigade, pasukan yang dibentuk oleh Shamil Basayev dan Komandan Khattab untuk memerangi tentara pendudukan Rusia di wilayah Dagestan pada tahun 1999 atau tak lama sebelum pecahnya Perang Chechnya II.


Selama ikut berjihad dalam Perang Chechnya II (1999-2000), Murad sempat ditunjuk sebagai komandan Mujahidin untuk wilayah Vedeno, dan pada tahun 2002, atas perintah dari Abu al-Walid, Murad ditugaskan untuk membentuk front baru di Distrik Sunzha, dimana di wilayah itu Murad berhasil membangun kekuatan pasukan pejuang Chechen yang berjumlah cukup besar.


 
Dalam sebuah pertemuan antar komandan pejuang Chechen, Murad menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan Shamil Basayev, komandan Mujahidin Chechnya yang legendaris.


Namun pada tanggal 7 Oktober 2003, para petugas di Orjonikidze Station”, Ingushetia, menghentikan mobil yang ditumpangi Murad, dan ia pun ditahan bersama beberapa orang lainnya. Setelah penangkapan itu, kabar mengenai Murad tidak lagi diketahui rimbanya. Baru pada tanggal 2 Februari 2006 diketahui bahwa selama dua tahun lebih Murad ditahan dalam Penjara Vladikavkaz yang dioperasikan oleh pihak FSB (dinas intelejen Rusia). Pihak FSB menyalahkannya atas serangkaian serangan teroris di kota Mozdok dan berusaha untuk membuatnya mengaku, tetapi Murad tidak bersalah ataupun terlibat dengan apa yang dituduhkan kepadanya. Bagaimana upaya pihak Rusia untuk membuat orang-orang Chechen yang tidak bersalah, seperti Murad, untuk mengaku tentunya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Siksaan yang kejam dan brutal adalah jawabannya. Namun begitu, orang-orang Rusia gagal mendapatkan pengakuan dari Murad. Karena gagal, mereka pun kemudian mengalihkan sasarannya kepada janda salah seorang komandan pejuang Chechnya yang juga mereka tahan di penjara yang sama. Pemerkosaan adalah prosedur standar bagi para wanita Chechen yang ditahan dalam penjara Rusia. Mereka pun akhirnya mendapatkan testimoni dari janda tersebut yang menyatakan bahwa Murad terlibat.


Pada tanggal 2 Februari tersebut, di kota Nazran, digelarlah sidang pengadilan tinggi terhadap kasus penahanan Murad. Para hakim sangat terkejut saat melihat sang tertuduh (Murad) – semua kuku jarinya terlepas dan satu giginya tanggal…. Siksaan yang dijalaninya pasti sungguh tak terbayangkan. Selama jalannya proses pengadilan, wanita yang sedianya akan memberikan testimoni yang memberatkan Murad ternyata menyatakan bahwa ia dipaksa untuk memberikan testimoni tersebut. Ia mengatakan bahwa agen-agen FSB Rusia telah mengancamnya akan melakukan aborsi paksa bila ia tidak mau menandatangani testimoni yang disodorkan kepadanya. Pernyataan dari wanita ini tentu saja membuat orang-orang Rusia marah karena juri pengadilan secara bulat memutuskan Murad tidak bersalah mengingat tidak ada cukup bukti keterlibatan Murad dalam aksi terorisme yang dituduhkan kepadanya. Hakim Isa Gadziev pun lalu memutuskan agar Murad dibebaskan dari tahanan.


Namun bagian yang paling menarik dari proses persidangan Murad tersebut adalah insiden yang terjadi sesudahnya. Seperti yang dituturkan oleh Nodar Daushvili, pengacara Murad, dalam sebuah petikan wawancara untuk Novaya Gazeta, “Ketika sidang pengadilan masih berlangsung, ada tiga orang berpakaian tempur terlihat gelisah di ruangan sidang. Ketika jalannya sidang berakhir, salah seorang dari mereka menghilang entah kemana. Beberapa menit kemudian saya menoleh keluar jendela dan melihat sebuah minibus melaju masuk ke halaman, pintunya terbuka dan keluarlah sekitar selusin orang berseragam loreng yang segera merangsek masuk ke dalam gedung. Saya langsung menyadari bahwa mereka datang untuk menculik Murad. Kami segera melewati satu celah sempit – Murad yang hanya bisa berjalan tertatih-tatih (karena siksaan yang dideritanya) dibantu oleh sejumlah petugas polisi yang mengawalnya, keluar dari gedung sidang melalui sebuah tangga rahasia.


Untuk menghindari ancaman para agen intelejen pemerintah Rusia yang ingin membunuhnya, juga untuk menjalani perawatan medis akibat siksaan yang selama ini dialaminya di penjara, Murad pun secara diam-diam pergi menyeberang ke Georgia. Setelah kesehatannya pulih kembali, Murad segera berusaha mengontak pihak Emirat Kaukasus. Ia menyatakan keinginannya untuk bergabung dan meminta kepada mereka agar bisa membantu mengusahakannya kembali masuk ke wilayah Chechnya. Namun dengan bahasa yang baik, pihak Emirat Kaukasus menjawab bahwa mereka tidak bisa memenuhi permintaan Murad karena mereka tidak memiliki alasan yang kuat untuk mempercayai Murad, mengingat Murad pernah menghabiskan waktu lama di penjara Rusia, sehingga mereka tak mau mengambil resiko kemungkinan Murad kini bekerja untuk pihak Rusia bila mereka menerimanya kembali, meskipun mereka tahu bahwa pihak Rusia telah gagal membuat Murad mengaku. Murad yang tidak bisa bergabung dengan pihak Emirat Kaukasus, akhirnya memutuskan untuk membentuk kelompok bersenjatanya sendiri dan berupaya menyeberang ke Dagestan, namun gagal.


Kesempatan untuk memerangi Rusia datang ketika pecah perang antara Rusia dengan Georgia. Temur kemudian menceritakan, “Ketika Perang Agustus pecah di tahun 2008, banyak pemuda berkumpul di Pankisi Gorge (terdapat sekitar 250 orang, termasuk Murad), dan mengirim seorang utusan kepada pemerintah Georgia, untuk mengatakan bahwa mereka akan sangat senang pergi berperang jika diperlukan. Menteri Dalam Negeri meresponnya dengan jawaban “Kami akan memanggil kalian jika diperlukan”. Para pemuda mengatakan, “Apa jadi soal dimana kami bertempur melawan Rusia? Jihad adalah Jihad, di mana pun tempatnya.” Anda mungkin tidak percaya kepada saya, namun saat ini bagi Murad, bertempur melawan Assad sama artinya bertempur melawan Rusia. Setelah perang berakhir, Murad, bersama dengan Ahmed Chataev dan ‘Dushman’ mengawasi pelatihan sejumlah kelompok bersenjata, meski hal ini tidak dikonfirmasi secara resmi.


Peran sertanya dalam memerang tentara Rusia ketika berlangsungnya perang antara Georgia dengan Rusia, membuat pihak Emirat Kaukasus mengingat kembali namanya. Suatu hari, Murad mendapatkan video rekaman berisi pernyataan dari Doku Umarov yang menginsyaratkan bahwa Umarov membutuhkan para pejuang yang telah berpengalaman dan meminta mereka untuk kembali. Momentum tersebut bersamaan dengan dibukanya kembali jalur aman dari Georgia ke Dagestan. Menurut keterangan dari orang yang dekat dengan Murad saat itu, kelompok bersenjata pimpinan Murad memang berniat untuk menggunakan jalur aman tersebut untuk pergi ke Dagestan.


 
Murad Margoshvili (kedua dari kiri) bersama sejumlah pejuang Chechen yang tergabung dalam kelompoknya selama periode antara tahun 2008 – 2010.


Tapi sebelum Murad sempat pergi ke Dagestan dan masuk kembali ke wilayah Chechnya untuk berbai’at kepada Doku Umarov, terjadi satu masalah. Dalam sebuah wawancara, Murad menceritakan, “Saat saya dengar bahwa ada satu kelompok dari saudara-saudara kami yang berupaya untuk menyeberang ke Dagestan. Orang-orang Rusia mengetahui tentang mereka dan telah mempersiapkan sebuah penyergapan. Saya tidak dapat menghubungi Doku, tapi berusaha untuk memperingatkan beliau mengenai resiko bahwa kelompok tersebut kemungkinan akan dihabisi oleh pasukan Rusia. Namun begitu, saya gagal dan kelompok tersebut dibasmi oleh pemerintah Georgia. (Murad mencontohkan satu operasi kontra teroris di Lopota). Pihak Emirat Kaukasus segera mulai mencari siapa yang bertanggung jawab, dan sekali lagi, Emir mencurigai saya. Tak seorang pun di pihak Emirat yang ingin mendengar penjelasan saya, akhirnya saya meninggalkan Georgia, pindah ke Turki dan kemudian ke Suriah untuk mengobarkan jihad saya sendiri.


Belakangan pihak Emirat Kaukasus mengetahui bahwa Murad yang kini dikenal sebagai Muslim Abu Walid al-Shishani telah berada di Suriah dan meminta kepadanya untuk bertempur di bawah bendera Emirat Kaukasus, tetapi Murad dengan tegas menolaknya. Murad yang telah memperoleh kembali status dan nama besarnya sebagai seorang panglima pasukan Mujahidin, sebelumnya telah berkonsultasi dengan sejumlah ulama jihad, juga dengan Abu Umar dan Saifullah al-Shishani, mengenai statusnya sebagai Mujahidin Kaukasus yang berjihad di Suriah. Hampir semuanya mengatakan bahwa bai’at kepada Dokka Umarov diwajibkan hanya apabila seorang Mujahidin berada di dalam wilayah yang dikuasai oleh Amir Mujahidin Kaukasus tersebut. Namun karena faktanya Umarov tidaklah mengontrol wilayah Suriah, maka Muslim pun kemudian memutuskan untuk beroperasi secara independen.


Saat pertama kali tiba di Suriah pada tahun 2012, Muslim baru melihat hanya ada beberapa orang Muhajirin (pejuang asing) di Suriah. Sebagian besar dari mereka bergabung dengan Jabhat al-Nusrah dan Ahrar Sham. Sementara di kalangan Ansar (pejuang lokal), seperti di banyak tempat lainnya dimana jihad baru dimulai, Muslim banyak melihat perilaku jahiliyah karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman agama mereka. Namun begitu, sebagian besar dari mereka sebenarnya mencintai Islam dan menginginkan Islam tegak di tanah mereka.


Bagi Muslim, Suriah merupakan Chechnya kedua. Berbekal pengalaman yang diadopsi dari Komandan Khattab dan para Mujahidin Arab yang pernah berjihad di Chechnya, Muslim bersama sejumlah rekannya kemudian mulai bergerak dan bekerja. Membenahi terlebih dahulu kondisi masyarakat Suriah sebelum mulai mempersiapkan pembentukan kelompok jihad. Bersama-sama dengan masyarakat setempat dan para ulama, Muslim membantu mendirikan sebuah madrasah di Latakia. Dengan program pendidikan selama 3 bulan, banyak warga Suriah yang minim pengetahuan agamanya diajak dan diajarkan sampai mereka bisa shalat dan berdoa dengan baik.


Selain madrasah untuk umum, sebuah sekolah untuk anak-anak juga dibuka. Dengan masa belajar selama sebulan, anak-anak tinggal dan diberi makan di sekolah tersebut. Mereka diajarkan tentang dasar-dasar ilmu agama. Bahkan di bulan pertama, sebanyak 50 orang anak yang belajar di sekolah tersebut, terpaksa tidak dapat genap sebulan belajar karena telah menunggu lebih dari 100 orang anak lainnya yang diantar oleh orangtuanya untuk mengantri masuk ke sekolah tersebut.


Muslim juga ikut serta membantu membuka kembali sebanyak 17 masjid yang sebelumnya telah ditutup. Melalui masjid-masjid tersebut, dakwah diorganisasikan, shalat berjamaah ditegakkan, dan doa bersama dilakukan. Mereka yang berdakwah dan bekerja sama tersebut tidak hanya dari warga sipil saja, tetapi juga dari kelompok Tentara Pembebasan Suriah (FSA), sehingga hasilnya pun mulai terlihat dengan baik. Setelah tatanan masyarakat yang lebih baik dan Islami sudah mulai terlihat, Muslim pun mulai melaksanakan tahap kedua dari agendanya di Suriah, yaitu membentuk satu kelompok jihad untuk memerangi kekejaman rezim Bashar al-Assad.


Kelompok jihad yang dibentuk oleh Muslim Abu Walid al-Shishani ini diberi nama Junud as-Sham (Tentara Syam) dan bermarkas di Latakia. Kelompok jihad ini bersifat independen, tidak tergabung atau menginduk pada kelompok-kelompok jihad lokal yang ada di Suriah, juga bukan merupakan representasi dari Emirat Kaukasus. Namun begitu, kelompok ini cenderung bekerja sama dengan Jabhat al-Nusrah dan kelompok-kelompok jihad yang sealiran. Kekuatan personil kelompok Junud as-Sham diperkirakan berjumlah sekitar 300 personil mujahidin.


Junud as-Sham mulai dikenal ketika ikut berpartisipasi dalam operasi ofensif Latakia pada tahun 2014 bersama-sama dengan para pejuang dari Front Islam, Front al-Nusrah dan Harakat Islam Sham. Ketiganya menyatukan kekuatan mereka dalam suatu operasi gabungan melawan pasukan rezim Assad dan milisi Syiah yang berada di kota Latakia. Sebelumnya, Muslim juga menjalin kerja sama dengan Saifullah al-Shishani untuk melancarkan operasi penyerbuan ke Penjara Pusat kota Aleppo untuk membebaskan tahanan yang disiksa oleh rezim Assad. Namun sayangnya, serangan ini berakhir dengan kegagalan dan gugurnya Saifullah.

 

Selain ikut terlibat aktif dalam berbagai operasi ofensif melawan rezim Assad, Muslim juga membangun kamp-kamp pelatihan militer di Latakia untuk menampung dan melatih para mujahidin asing yang datang ke Suriah. Kini, di Suriah, Muslim Abu Walid al-Shishani menjalankan peran yang sama dengan yang pernah dilakukan oleh Sheikh Abdullah Azzam di Afghanistan atau Komandan Khattab di Chechnya. Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi kaum Mujahidin akan tetap terus ada. Selama masih ada umat Islam yang tertindas dan teraniaya, maka di sanalah akan lahir mujahidin-mujahidin baru yang akan bangkit memberikan perlawanan. (***)