Oleh : Ari
Subiakto
Saat tersiar kabar tentang adanya
para mujahidin asal Chechnya
dan wilayah Kaukasus Utara
yang berjihad di Suriah untuk melawan rezim Bassar al-Assad, banyak pihak yang
merasa heran dan bertanya-tanya. Kenapa mereka justru berjihad di Suriah,
padahal wilayah Kaukasus sendiri yang merupakan tanah air mereka masih terjajah
dan tertindas oleh Rusia? Kenapa mereka tidak memilih bergabung dengan Dokka
Umarov, Amir Emirat Kaukasus, untuk bersama-sama berjuang membebaskan wilayah
Kaukasus dari penjajahan Rusia? Banyak pengamat menilai fakta ini sebagai
sebuah ironi.
Dokka Umarov sendiri pada mulanya
merasa keberatan dan kecewa dengan kenyataan
adanya warga Chechnya
dan wilayah Kaukasus Utara
yang berjihad dan bertempur di Suriah. Umarov bahkan menegaskan bahwa mereka
tidak berada di bawah komando dan tanggung jawab negara Emirat Kaukasus
pimpinannya. Mereka berjuang secara independen
dan berangkat atas keinginan pribadi tanpa koordinasi ataupun perintah dari
Umarov. Apakah ini pertanda bahwa jihad di wilayah Kaukasus Utara
melawan penjajah Rusia sudah tidak lagi memiliki prospek ke depan?
Dokka Umarov, Amir negara Islam
Emirat Kaukasus.
Dalam tulisan sebelumnya (“Mujahidin Chechnya Bertempur di Suriah”)
telah diungkapkan bahwa banyaknya warga asal Chechnya dan Kaukasus
Utara yang berjihad di Suriah bukan
dikarenakan jihad di wilayah Kaukasus melawan Rusia sudah tidak lagi memiliki
prospek atau karena adanya perpecahan internal di kalangan mujahidin Emirat
Kaukasus pimpinan Dokka Umarov, melainkan lebih dikarenakan oleh kondisi di
lapangan yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk bergabung dengan Dokka
Umarov.
Seperti yang diketahui bahwa
para Mujahidin Chechen yang berjihad di Suriah bukanlah warga Chechnya yang tinggal di wilayah Chechnya
yang tergabung atau tengah berjihad bersama Dokka Umarov, melainkan adalah
warga etnis Chechen yang tinggal di luar wilayah Chechnya. Baik itu yang
tinggal di Georgia (Pankisi Gorge), suatu wilayah pegunungan di perbatasan Georgia-Chechnya
yang banyak dihuni orang-orang
etnis Chechen yang dikenal sebagai kaum Kists,
atau yang tinggal dan tersebar (diaspora)
di berbagai negara-negara Eropa, seperti Turki, yang menjadi tempat tujuan
mengungsi atau mencari suaka selama pecahnya Perang Chechnya. Orang-orang
Chechen tersebut kesulitan untuk dapat pulang kembali ke tanah airnya karena
pemerintah Rusia menghalang-halangi mereka, dimana wilayah perbatasan menuju ke
Chechnya
kini dijaga sangat ketat oleh pemerintah Rusia. Kondisi ini membuat orang-orang Chechen yang berada di luar tanah airnya tidak
bisa bergabung bersama saudara-saudaranya di Chechnya, dan akhirnya lebih
memilih untuk berjihad di luar tanah airnya. Namun apakah kondisi ini telah
membuat orang-orang Chechen melupakan perjuangan mereka untuk meraih
kemerdekaan dan penegakan syariat Islam di tanah airnya? Tentu saja tidak.
Karena semua ini ternyata hanyalah bagian dari skenario besar Allah untuk
menolong Mujahidin Kaukasus.
Meski perjuangan di wilayah Kaukasus Utara
dalam melawan penjajah Rusia dan kaki tangannya masih tetap terus berlangsung,
namun saat ini perang gerilya di pegunungan yang dilakukan oleh para Mujahidin
Kaukasus pimpinan Dokka Umarov terasa semakin sulit dan berat. Selain banyaknya
tokoh pejuang Kaukasus yang gugur oleh operasi-operasi pasukan khusus Rusia,
para Mujahidin Kaukasus juga tengah menghadapi masalah logistik dan pelatihan. Para pemuda yang berminat dan datang dari berbagai
penjuru wilayah Kaukasus untuk bergabung dengan pasukan Mujahidin Emirat
Kaukasus sebenarnya memang berjumlah sangat banyak, tapi Dokka Umarov tidak
dapat mempersenjatai dan melatih mereka semua.
Selain itu, di wilayah Chechnya
sekarang ini sudah tidak ada lagi kamp-kamp pelatihan mujahidin seperti yang
pernah didirikan oleh Khattab dan Shamil Basayev. Para
pemuda yang ingin berjihad pun harus menunggu lama untuk dapat bergabung dengan
para mujahidin yang hidup di wilayah pegunungan. Setelah bergabung, para pemuda
yang belum memiliki pengalaman tempur itu harus hidup berpindah-pindah,
naik-turun gunung dalam kondisi medan
yang berat, yang semuanya itu akan sangat menguras tenaga dan kesabaran. Mereka
mungkin akan bosan atau tewas lebih dulu sebelum sempat terlibat dalam satu
operasi militer. Itulah sebabnya mengapa Dokka Umarov lebih memprioritaskan
operasi militernya dengan melancarkan serangan-serangan pemboman yang bersifat individual di wilayah teritorial
Rusia. Meskipun hal tersebut dianggap oleh banyak pihak sebagai aksi terorisme,
namun untuk saat ini hanya operasi semacam itulah yang bisa dilakukan secara
efektif untuk memerangi pemerintah Rusia.
Kondisi di wilayah kaukasus
tersebut sangat jauh berbeda dengan kondisi medan jihad di Suriah. Wilayah perbatasan
Suriah relatif terbuka dan tidak seketat atau sesulit perbatasan Chechnya
yang bergunung-gunung, sehingga memungkinkan bagi para mujahidin dari berbagai
penjuru dunia untuk keluar-masuk ke wilayah negara tersebut untuk melakukan
aktifitasnya. Di sana
juga terdapat kamp-kamp pelatihan militer dan banyak terbentuk kelompok-kelompok
jihad yang muncul bak jamur tumbuh di musim hujan. Karena itu, Suriah adalah
tempat yang subur dan tepat bagi para mujahidin untuk berlatih dan menimba
pengalaman bertempur. Tidak terkecuali bagi para pemuda etnis Chechen atau dari
wilayah Kaukasus lainnya yang selama ini hidup dan tinggal di negeri orang.
Di Suriah, mereka yang belum
terlatih akan ditempa oleh medan pertempuran
yang sebenarnya, terutama medan pertempuran kota (urban combat). Jika terseleksi, maka dapat dipastikan mereka akan
menjadi unit-unit mujahidin yang tangguh dan profesional dalam memerangi orang-orang kafir. Ketika mereka pulang kembali ke tanah
airnya di Chechnya
atau wilayah Kaukasus Utara
lainnya, mereka telah benar-benar siap tempur untuk menghadapi Rusia. Pihak
Emirat Kaukasus pun tidak perlu lagi repot-repot untuk mempersenjatai dan
melatih mereka. Dengan pengalaman dan hubungan baik yang terjalin antar
mujahidin di Suriah, tidak menutup kemungkinan orang-orang Chechen yang berjihad di Suriah
akan mampu menciptakan jaringan dan membuka jalan untuk memasok persenjataan
dan mendatangkan para militan Islam dari luar untuk berjihad di Kaukasus. Jika
ini sampai terjadi, maka habislah Rusia. Prediksi inilah yang kemudian sangat
ditakuti oleh pemerintah Rusia.
Namun terlepas
dari apa pun upaya yang mungkin dilakukan oleh Rusia untuk mencegah masuknya
para mujahidin veteran perang Suriah ke wilayahnya, itu semua hanyalah masalah
waktu. Cepat ataupun lambat mereka pasti akan kembali. Orang-orang Chechen itu
memang pergi terusir sebagai pengungsi, namun mereka akan kembali lagi ke tanah
airnya sebagai pejuang-pejuang yang terlatih. Para
komandan mujahidin asal Chechnya
di Suriah selalu mewanti-wanti para pemuda etnis Chechen yang berjihad di
Suriah untuk tidak melupakan perjuangan di tanah airnya. Seperti yang dikatakan
oleh Abu
Isa al-Shishani, salah seorang pejuang Chechnya
yang turut berjihad di Suriah, “Untuk mereka (para pemuda Chechnya)
yang telah berada di Suriah, nasehat saya adalah jangan bermalas-malasan untuk
terus mendapatkan lebih banyak pengalaman di semua medan
pertempuran dan terus mencari kemungkinan untuk pulang kembali ke Kaukasus
untuk melanjutkan jihad di sana.
Jadilah orang yang tabah dan sabar di segala hal, … Hindari isu dan bicara
hal-hal yang tak berguna yang hanya akan melemahkan diri kita. Jangan
membuang-buang waktu di satu basis militer jika sedang tidak ada misi tempur.” Selanjutnya Abu Isa juga mengatakan, “Sejauh yang bisa saya katakan, Jihad di Suriah, sama seperti Jihad di
Kaukasus, adalah pertanda dari kebangkitan Islam dunia.”
“Hari ini di Suriah, para pemuda dari wilayah
Kaukasus bisa mendapatkan pelatihan militer, juga dapat membentuk pribadi
mereka sebagai seorang muslim dan memperkuat diri mereka sebagai seorang
mujahidin, sehingga mereka kelak akan dapat melakukan penetrasi ke dalam
wilayah pendudukan Rusia melalui jalur-jalur “resmi” dan menyerang wilayah
Rusia tanpa dikomando, dan cepat atau lambat semua itu akan mengantarkan kepada
kejatuhan imperium Rusia yang akan kami paksa untuk mundur dari wilayah
Kaukasus seperti halnya mereka mundur dari Afghanistan dan Eropa Timur.”
“Jadi bagi mereka yang ingin berjihad di
wilayah Rusia setelah usai jihad di Suriah harus memiliki satu rencana yang
jelas dan bertindak sesuai dengan rencana tersebut, ada baiknya pula mereka
perlu menyembunyikan apa yang mereka lakukan di Suriah, jadi jangan sampai
mereka tertangkap oleh video atau kamera (yang akan membuat identitas
mereka terungkap atau teridentifikasi oleh pihak Rusia, sehingga akibatnya kelak
akan sulit bagi mereka untuk dapat masuk ke wilayah Rusia tanpa dikenali).”
Apa yang dikatakan oleh Abu Isa
tersebut bukanlah hanya sekedar gertak sambal, apalagi menurut klaim pemerintah
Suriah sendiri, seperti yang dilansir oleh pihak EA World View, bahwa sampai awal Desember 2013, ada sekitar 1.700 pejuang
muslim Chechnya
di Suriah yang ikut bertempur bersama-sama dengan kelompok-kelompok jihad
lokal. Mengetahui klaim laporan dari Damaskus ini, pemerintah Rusia tentu saja
sangat kaget. Dengan cemas mereka bertanya-tanya, apakah estimasi ini terlalu
dibesar-besarkan ataukah memang merupakan suatu fakta di lapangan? Pemerintah
Rusia sama sekali tidak menyangka jumlahnya akan sebesar itu. Meski banyak
analis, seperti Mairbek Vatchagaev,
seorang sejarawan Chechnya
dan analis politik di Kaukasus Utara, yang berpendapat bahwa jumlah pejuang
Chechen yang bertempur di Suriah kemungkinan hanya berada dalam kisaran puluhan
hingga paling banyak 100 orang.
Namun terlepas
dari berapa jumlah mereka yang sebenarnya, fakta adanya orang-orang Chechen
yang berjihad di Suriah ini akan menjadi ancaman tersendiri yang akan membuat
para pejabat pemerintah Rusia dan kaki tangannya tidak dapat tidur nyenyak.
Seperti yang diungkapkan oleh Sergei Smirnov, selaku Wakil Direktur Dinas Keamanan
Federal Rusia (FSB) yang menyatakan keprihatinan sekaligus wujud ekspresi
ketakutan pemerintah Rusia. Ia tak henti-hentinya mengatakan bahwa pejuang Chechnya
yang berada di Suriah adalah ancaman, ancaman, dan ancaman serius bagi Rusia. “Mereka
akan datang kembali kesini, dan pasti menimbulkan ancaman besar,” ujar Sergei
Smirnov.
Selain sebagai ajang untuk melatih diri
dan menimba pengalaman bertempur di medan
perang yang sebenarnya, tujuan para Mujahidin Chechen dan Kaukasus berjihad di
Suriah adalah untuk memberikan pukulan terhadap sekutu utama Rusia di wilayah
Timur Tengah, sehingga perjuangan mereka melawan rezim Bassar al-Assad di
Suriah sama saja dengan memberikan pukulan secara tidak langsung terhadap
pemerintah Rusia. Pukulan ini memang tidak memberikan dampak secara langsung
yang bisa terlihat, namun akan sangat terasa pengaruhnya bagi Rusia di masa
yang akan datang, dimana sedikit-banyaknya pihak Rusia dipastikan akan
mengeluarkan anggaran lebih atau tenaga dan upaya ekstra untuk membantu
sekutunya di wilayah Timur Tengah tersebut.
Dari informasi yang dikeluarkan oleh
pihak Kavkaz Center, diketahui sebuah fakta yang
menarik, bahwa di Suriah, Mujahidin Chechnya ternyata juga bertempur melawan
musuh yang sama seperti di negeri asalnya, yaitu tentara penjajah Rusia. Fakta mengenai
hal ini pertama kali diungkap oleh Kavkaz Center
pada pertengahan bulan November 2013 lalu, yang menampilkan sejumlah foto
personil tentara bayaran (mercenaries)
asal Rusia yang bertempur untuk membantu rezim Alawiyah Nushairiyyah Bashar al-Assad.
Tentara bayaran asal Rusia ini menyebut
diri mereka sebagai “Korps Slavia”. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa mereka
adalah para purnawirawaan pasukan khusus (Spetsnaz)
atau dari unit tentara AU Rusia (paratroopers),
anggota polisi unit khusus, polisi anti huru-hara, dan gerombolan bersenjata
yang diberhentikan dari unit kesatuannya (desertir). Tidak menutup kemungkinan
bahwa mereka itu adalah para veteran Perang Chechnya
yang telah banyak melakukan tindak kejahatan perang dan kemanusiaan selama
bertugas di wilayah Chechnya.
Korps Slavia, tentara bayaran (mercenaries) asal Rusia yang bertempur membantu rezim Bashar
al-Assad di Suriah.
Informasi dari Kavkaz Center
ini kemudian mendorong pihak surat
kabar Petersburg Fontanka melakukan
investigasi sendiri atas dugaan keterlibatan tentara bayaran Rusia dalam
konflik di Suriah. Pihak Fontanka berhasil
mewawancarai sekelompok tentara bayaran Rusia dan mendapatkan informasi terkait
mengenai beberapa rincian partisipasi mereka dalam konflik di Suriah. Dari
informasi tersebut dapat diketahui bahwa pihak militer Suriah menempatkan
batalyon tentara bayaran Rusia ke dalam pasukan cadangan. Di bulan Oktober
2013, jumlah kekuatan “Korps Slavia” ini adalah sebesar 267 personil yang
terbagi ke dalam 2 kompi. Mereka selain diperlengkapi dengan senapan serbu seri
AK, juga dilengkapi dengan senapan mesin berat dan pelontar granat. Sementara
untuk senjata anti-pesawat dan mortar yang mereka pakai boleh dibilang dari
model yang sudah usang
dan merupakan sisa-sisa peninggalan Perang Dunia II antara tahun 1939 – 1943.
Batalyon tentara bayaran Rusia ini dilengkapi pula dengan empat tank tempur
T-72 dan beberapa ranpur lapis baja seri BMP untuk mobilitasnya.
Untuk menghadapi kekuatan perlawanan
para Mujahidin, pihak militer Suriah ternyata tidak hanya menyewa tentara
bayaran asal Rusia, namun juga dari Iran dan milisi Hizbullah yang
merupakan sekutu Syiah mereka. Jumlah tentara bayaran tersebut bahkan mencapai
hingga ribuan. Padahal selama ini rezim Bashar al-Assad selalu gencar
melontarkan tuduhan bahwa kaum pemberontak Suriah didukung oleh para teroris
asing dan bukan dari rakyatnya sendiri. Meskipun lucunya, Assad yang Syiah itu mengklaim
dirinya masih tetap didukung oleh rakyat Suriah yang mayoritas warga Sunni dan
menentang ajaran Alawiyah.
Faktor penyebab mengapa pemerintah
Suriah sampai menyewa begitu banyak tentara bayaran juga terungkap dari
keterangan Abu Isa al-Shishani yang mengatakan bahwa, “… tentara Assad mengalami demoralisasi dan kehilangan motivasi untuk
bertempur. Terlepas adanya dukungan yang kuat dari Rusia, Iran, dan Cina.
Tentara Assad sebenarnya mengalami intimidasi internal yang membuat mereka terpaksa
untuk berperang. Hanya tentara bayaran dari Iran
dan Lebanon
(milisi Hizbullah) yang semangat
untuk berperang, namun itu pun demi uang yang banyak.”
Kondisi yang diungkapkan oleh Abu Isa
tersebut secara tidak langsung juga turut dibenarkan oleh pidato Sekjen
Hezbollah sendiri, Hassan Nasrullah, yang mengungkapkan bahwa tanpa dukungan
sekutu-sekutunya, rezim Bashar al-Assad dapat dipastikan sudah jatuh sejak
dulu. Rezim Assad benar-benar sangat tergantung kepada sekutu-sekutunya,
terutama dari Rusia, Iran, dan milisi Syiah Hezbollah di
Lebanon, untuk dapat tetap melanggengkan kekuasaannya. (***)
Sumber Website:
http://www.kavkazcenter.com
http://www.eaworldview.com
http://www.shoutussalam.com
memang kalau tentara suriah sudah tahu kuatnya pejuang jihad jadi sdh tak berdaya
ReplyDelete