Oleh : Ari Subiakto
“Jika anda mengatakan kepada saya saat di Afghanistan bahwa suatu hari
nanti akan tiba waktunya kita akan berperang dengan Rusia di wilayah Rusia
sendiri, saya tidak akan pernah percaya kepada anda.” (Komandan Khattab)
Komandan Khattab (1969 – 2002)
Tanggal 16 April 1996, sebuah konvoi
yang terdiri dari sekitar 50 kendaraan militer milik Resimen Rifle Bermotor
Ke-245 Rusia, menyusuri sebuah jalan lintas di wilayah pegunungan Argun Gorge,
tak begitu jauh dari dusun Yarysh Mardy, selatan Chechnya. Konvoi kendaraan
militer tersebut mengangkut pasukan Rusia yang baru saja melakukan operasi militer
berupa aksi sweeping dan pembantaian
massal yang dikenal dengan istilah zatchistka
di sebuah desa yang dihuni kaum muslim Chechnya. Saat konvoi tersebut
tengah melintasi sebuah jalan pegunungan yang berkelok-kelok, dimana hutan
lebat di satu sisi dan lembah sungai di sisi yang lain, tiba-tiba terdengar
suara ledakan keras di depan iring-iringan konvoi tersebut. Sebuah tank yang
berada paling depan hancur dan terbakar. Detik berikutnya adalah mimpi buruk
bagi konvoi tentara Rusia tersebut.
Dari salah satu sisi jalan yang
berupa lereng yang terlindungi oleh lebatnya hutan, sekitar 50 orang pejuang
muslim Chechen melancarkan serangan penyergapan secara mendadak dari tempat
persembunyiannya. Menyusul ledakan tank yang berada paling depan tadi, ledakan
berikutnya berasal dari tembakan peluncur granat RPG yang menghantam kendaraan
komunikasi konvoi tersebut, lalu diikuti oleh ledakan kendaraan lapis baja
angkut personil (Armoured Personnel
Carriers – APC) yang berada paling belakang dan paling depan, sehingga praktis
memerangkap unit-unit sisanya ke dalam zona pembantaian (killing field). Pasukan Rusia pun terjebak dan terperangkap di
antara kendaraan-kendaraan militer mereka tanpa bisa berkomunikasi untuk
meminta bantuan ataupun menyebutkan posisi mereka. Serangan para pejuang muslim
Chechnya
tersebut secara sistematis menghabisi satu-persatu ranpur lapis baja BMP dan
truk transport Kamaz Rusia yang terperangkap
dengan tembakan peluncur granat penembus baja hingga ludes tak bersisa.
Setelah sekitar selama dua jam
penyerangan, para pejuang muslim Chechnya kemudian keluar dari
persembunyiannya, menyerang turun, menghabisi tanpa ampun sisa-sisa tentara
Rusia yang terluka atau yang mencoba melarikan diri dari kendaraan-kendaraan
militer mereka yang terbakar. Sebanyak 223 personil tentara Rusia tewas,
termasuk diantaranya adalah 26 perwira senior, dan hanya menyisakan segelintir
kecil tentara Rusia yang berhasil lolos dari penyergapan maut tersebut untuk
menceritakan peristiwa yang mengerikan itu kepada rekan-rekannya.
Di antara kobaran api dan asap
hitam yang mengepul dari bangkai-bangkai kendaraan militer Rusia yang terbakar,
terlihat sesosok figur sentral yang terfilmkan oleh salah seorang anggota
pejuang Chechnya
yang turut dalam serangan tersebut. Ia berjalan di antara mayat-mayat tentara
Rusia yang bergelimpangan di tengah jalan sambil mengangkat sepucuk senapan
serbu AK-47 dan meneriakkan takbir “Allahu
Akbar!” Ketika asap yang menyelimuti tempat itu perlahan mulai lenyap,
tampaklah seraut wajah asing yang menunjukkan bahwa ia bukanlah orang Chechnya
atau dari etnis Kaukasia, melainkan wajah seorang Arab. Penampilannya begitu
khas. Janggut dan rambut yang gondrong, bertubuh gempal, serta mengenakan topi
baret berwarna hitam. Siapakah orang ini?
Para pejuang Chechnya memanggilnya dengan
sebutan Ameer Khattab atau Komandan Khattab. Ia adalah seorang keturunan Arab,
veteran Perang Afghanistan
yang menjadi komandan pasukan Mujahidin asal negara-negara Arab dan wilayah
Timur Tengah lainnya yang berjihad di Chechnya. Munculnya para veteran
Perang Afghanistan di medan pertempuran Chechnya tentu saja mengguncang
pihak militer Rusia. Karena taktik serangan penyergapan yang terjadi di dekat
desa Yarysh Mardy ini adalah taktik perang gerilya khas kaum Mujahidin
Afghanistan yang sukses dalam membantai tentara-tentara Soviet di wilayah
pegunungan sepanjang berkecamuknya Perang Afghanistan di era tahun 1980-an.
Kabar tentang peristiwa
penyergapan maut di dekat desa Yarysh Mardy yang dipimpin oleh Khattab ini pun makin
menggemparkan publik Rusia, manakala video serangan yang didokumentasikan oleh
para pejuang Chechnya
tersebut beredar dan ditayangkan secara luas ke seantero wilayah Chechnya.
Video kemenangan tersebut disaksikan dan disambut sorak-sorai teriakan takbir
warga masyarakat dan seluruh pejuang muslim Chechnya. Mereka terharu dan
bangga, akhirnya kini mereka tidak lagi berjuang sendirian.
Serangan penyergapan di dekat
desa Yarysh Mardy ini tercatat sebagai salah satu serangan telak paling
mengerikan yang dialami oleh pihak militer Rusia selama Perang Chechnya I.
Akibat peristiwa ini, Menteri Pertahanan Rusia, Pavel Grachev, mengundurkan
diri, dan 3 orang jenderal Rusia di Chechnya dipecat dari jabatannya. Kehadiran
Khattab di medan perang Chechnya ini telah menggetarkan nyali dan merupakan
ancaman yang serius bagi pemerintah Rusia, sehingga oleh pihak Rusia, Khattab
kemudian dijuluki sebagai “Osama bin Laden-nya Chechnya”.
Khattab memiliki nama asli Samir
bin Saleh bin Abdullah Al Suwailem. Ia dilahirkan pada tanggal 14 April 1969 di
sebuah kota
kecil bernama Ar’ar, dekat perbatasan utara Arab Saudi. Ayahnya adalah seorang
Arab dan ibunya keturunan Turki. Sejak kecil Khattab memang telah mengidolakan
Khalifah Umar bin Khattab r.a. sehingga mengganti nama panggilannya dengan nama
ibnul Khattab. Sejak kecil, Khattab dikenal pula sebagai anak yang cerdas dan
gemar menolong orang lain yang tengah ditimpa kesusahan. Ia pun dikenal oleh
keluarganya sebagai pribadi yang tidak pernah marah. Selalu suka bercanda dan senang
bermain dengan anak-anak.
Karir jihadnya dimulai ketika
Khattab berusia 17 tahun. Saat itu tahun 1987, Khattab mendengar seruan jihad Dr.
Sheikh Abdullah Azzam, dan ia pun langsung memutuskan untuk segera pergi
meninggalkan tanah kelahirannya, Arab Saudi, untuk berjihad membantu kaum
muslimin Afghanistan melawan invasi tentara komunis Uni Soviet. Salah seorang
Mujahidin Afghanistan yang mengenalnya, menceritakan saat pertama kali Khattab
muda tiba di kamp pelatihan dekat kota Jalalabad, Afghanistan; "Kamp pelatihan
dekat Jalalabad selalu penuh dengan saudara-saudara yang datang dan pergi
hampir setiap hari. Kami tengah mempersiapkan untuk sebuah operasi besar
menghadapi Rusia, dan ada beberapa saudara kami yang telah menyelesaikan
pelatihan mereka tengah mengemasi tas mereka dan bersiap meninggalkan kamp
untuk segera pergi ke garis depan. Saat kami tengah bersiap-siap untuk pergi ke
garis depan, sekelompok rekrutan baru tiba. Saya melihat seorang anak muda
remaja diantara rekrutan baru tersebut, usianya antara 16-17 tahun, dengan
rambut gondrong dan jenggot yang baru mulai tumbuh. Ia segera pergi menemui sejumlah
komandan kamp pelatihan dan mulai memohon kepada mereka agar mengizinkannya
untuk ikut serta pergi ke garis depan. Para
komandan tentu saja menolak untuk mengirimkan seorang anak muda yang tak
terlatih ke front pertempuran tanpa mendapat pelatihan apa pun sebelumnya. Saya
segera pergi mendekatinya, memberi salam dan menanyakan namanya. Ia menjawab, 'Ibn-ul-Khattab'."
Khattab kemudian mendapatkan
pelatihan kemiliteran di kamp dekat kota
Jalalabad tersebut. Salah seorang yang pernah menjadi pelatihnya adalah Hassan As-Sarehi, komandan Operation Lion’s Den di Jaji, Afghanistan. Sebuah operasi militer kaum Mujahidin di tahun 1987
yang sangat terkenal karena merupakan
pertempuran besar pertama antara sukarelawan asal Arab melawan tentara Uni Soviet
di wilayah Afghanistan. Setelah berhasil menyelesaikan pelatihannya, Khattab mulai dikirim ke garis depan.
Selama berada di garis depan, Khattab banyak mendapatkan pengalaman
tempur dan terlibat langsung dalam sejumlah kontak senjata skala besar melawan
unit-unit pasukan khusus (Spetnaz)
maupun unit-unit tentara reguler Uni Soviet. Ia tercatat selalu hadir di semua
operasi militer besar sepanjang berlangsungnya Jihad Afghan antara tahun 1988
hingga 1993, termasuk dalam penaklukan Jalalabad, Khost, dan Kabul.
Saat itu, sama sekali tak ada
yang mengira bahwa enam tahun kemudian anak muda bernama Khattab ini akan
menjadi salah seorang komandan pasukan Mujahidin yang paling berani dan paling
hebat yang pernah dikenal dunia di abad ke-20. Selama berjihad di Afghanistan,
Khattab juga dikenal sebagai seorang Mujahidin yang tidak pernah duduk diam
berlindung saat dihujani tembakan musuh. Ia selalu aktif mencari celah untuk balas
menyerang. Khattab juga dikenal sebagai seorang yang tak pernah memperlihatkan
rasa sakit akibat luka yang dideritanya di medan pertempuran.
Salah seorang Mujahidin pernah menceritakan bagaimana saat
Khattab terluka parah oleh sebutir peluru senapan mesin berat kaliber 12.7 mm
yang bersarang dalam perutnya (peluru senapan mesin kaliber 12.7 mm umumnya
dipakai untuk menembus lapisan baja atau menghancurkan posisi pertahanan musuh,
dan di tangan seorang personil militer yang berpengalaman, peluru senapan mesin
ini jika mengenai tubuh manusia akan menjadikannya seperti daging cincang); "Selama
berlangsungnya salah satu operasi militer, kami duduk-duduk dalam ruangan
sebuah rumah kecil di garis belakang. Saat itu malam hari dan pertempuran di
garis depan berlangsung sangat sengit. Beberapa saat kemudian, Khattab memasuki
ruangan; wajahnya terlihat pucat, tapi selebihnya ia terlihat berusaha untuk
bersikap normal seperti biasa. Ia masuk, berjalan sangat lambat ke arah salah
satu sisi ruangan dan kemudian duduk di sebelah kami. Khattab tidak biasanya terlihat
pendiam, sehingga saudara-saudara yang lain curiga pasti ada sesuatu yang buruk
menimpanya, meski ia tidak sedikit pun mengingkari atau memperlihatkan
tanda-tanda rasa sakit apa pun. Kami bertanya padanya apakah ia terluka; ia
menjawab bahwa di garis depan, ia mendapatkan satu luka ringan, tidak ada yang
serius. Salah seorang saudara kami kemudian menghampirinya untuk melihat
lukanya. Khattab menolak untuk memperlihatkannya, sambil mengatakan bahwa
lukanya tidak serius. Saudara kami tersebut memaksa Khattab untuk
memperlihatkan lukanya dan kemudian meletakkan tangannya ke perut Khattab. Ia
melihat pakaian Khattab basah kuyub oleh darah dan Khattab mengalami pendarahan
berat. Kami kemudian segera memanggil sebuah mobil dan melarikannya ke rumah
sakit lapangan terdekat, sepanjang perjalanan Khattab beberapa kali berusaha
menyakinkan kami bahwa lukanya ringan dan tidak ada yang serius."
Tidak hanya luka di perut akibat tembakan senapan mesin
berat, selama di Afghanistan,
Khattab juga kehilangan jari-jari tangan kanannya saat tengah berusaha melemparkan
sebuah granat tangan rakitan. Granat tersebut meledak terlalu dini di tangannya
sehingga jari-jarinya pun hancur. Rekan-rekan sesama Mujahidin berusaha
membujuknya untuk pergi ke Peshawar
guna memperoleh perawatan medis, namun Khattab menolaknya. Ia lebih memilih
membalur luka di tangannya dengan madu, seperti yang disunahkan oleh Nabi
Muhammad SAW, dan kemudian membalutnya dengan kain. Setelah itu kembali
melanjutkan aktivitasnya tanpa sama sekali merasa perlu untuk pergi ke Peshawar.
Usai penarikan mundur pasukan
Soviet dari Afghanistan dan
kaum komunis pun berhasil dikalahkan oleh kaum Mujahidin, Khattab sempat pulang
kembali ke kampung halamannya di Arab Saudi. Tetapi ketika Khattab mendengar kabar tentang adanya perang melawan kaum komunis
di Tajikistan,
sebuah republik bekas pecahan Uni Soviet di wilayah Asia Tengah, Khattab pun menolak
untuk tetap tinggal, meski telah dibujuk oleh kedua orang tuanya. Khattab segera
mengemasi barang-barangnya, dan pergi ke Tajikistan pada tahun 1993.
Di Tajikistan, Khattab bertempur di
medan bersalju
dan pegunungan tanpa senjata dan amunisi yang memadai untuk membantu pasukan
Islam yang dipimpin Said Abudullo Nuri melawan pemerintah komunis yang tetap
mengendalikan wilayah tersebut pasca runtuhnya Uni Soviet. Setelah selama dua tahun berjihad di
Tajikistan, Khattab kembali
ke Afghanistan di awal tahun 1995 bersama satu grup kecil rekan-rekannya
sesama Mujahidin. Pada saat itu, perang di Chechnya baru saja dimulai, dan
banyak orang yang masih bingung dengan latar belakang agama masyarakat Chechen
karena nama negeri itu masih terdengar asing di telinga mereka.
Pertama kali Khattab mendengar
adanya jihad di Chechnya ketika
ia tengah menyaksikan sebuah siaran televisi satelit di Afghanistan tahun
1995. Siaran televisi tersebut menampilkan orang-orang Chechen dengan ikat
kepala bertuliskan kalimat syahadat, tengah meneriakkan takbir sambil
mengangkat senjata untuk melawan tentara-tentara Rusia. Khattab menceritakan perasaannya saat ia
melihat siaran berita tentang adanya jihad di Chechnya tersebut; "Ketika
saya melihat sekelompok pejuang Chechen memakai ikat kepala bertuliskan 'La
ilaha illalah...' (Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya), dan
meneriakkan takbir (Allahu-Akbar!), Saya menyadari bahwa ada jihad di Chechnya dan saya harus pergi ke sana."
Saat itu pulalah Khattab
menyadari bahwa kaum kafir Rusia tampaknya ingin kembali mengulangi konflik di Afghanistan dengan cara menyerang dan memerangi
secara brutal umat Islam Chechnya.
Sebagai seorang Mujahidin, pembela umat Islam yang juga merupakan veteran
Perang Afghanistan,
Khattab merasa perlu untuk turun tangan membantu saudara-saudaranya yang
tertindas.
Semangat dan komitmen jihad di
dalam dada Khattab memang tak lepas dari pengaruh Sheikh Abdullah Azzam,
seorang doktor berkebangsaan Palestina lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo.
Beliau mengobarkan semangat jihad dan menyerukan kepada para pemuda Arab untuk
berjihad di Afghanistan
dengan cara mendirikan kamp pelatihan militer di sana. Saat konflik di Afghanistan
antara kaum Mujahidin dengan tentara Soviet mulai mereda pada tahun 1988, Sheikh
Abdullah Azzam mulai menyerukan pembentukan brigade trans-nasional (brigade tentara
Islam lintas negara) untuk melindungi segenap komunitas umat Islam yang ada di
berbagai penjuru dunia dari ancaman dan penindasan kaum kafir. Usai runtuhnya
Uni Soviet, banyak anggota brigade pasukan bentukan Sheikh Abdullah Azzam ini
yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, dari Bosnia hingga Filipina untuk
melaksanakan misinya.
Salah satu tempat tujuan para
Mujahidin veteran perang Afghanistan ini tentu saja adalah Chechnya, dimana
invasi skala besar militer Rusia terhadap wilayah ini di tahun 1994 – 1995 yang
memperlihatkan kebrutalan tentara-tentara Rusia terhadap kaum muslimin Chechnya
menjadi magnet yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para Mujahidin veteran
Perang Afghanistan untuk berdatangan. Kondisi ini tentu saja merupakan ancaman
tersendiri bagi pemerintah Rusia, karena mereka adalah para pembunuh orang
kafir yang profesional (professional
infidel-killers) yang tidak perlu diragukan lagi kemampuannya.
Meskipun tekadnya telah bulat, namun
ketika itu Khattab belum tahu dimana letak wilayah Chechnya, karena nama negeri itu
masih terdengar asing baginya. Ia hanya tahu cerita tentang seorang pejuang Islam
dari wilayah Kaukasus bernama Imam Shamil yang berjihad melawan Rusia kemudian
meninggal dan dimakamkan di Madinah. Khattab baru mengetahui tentang Chechnya setelah mendapat surat
dari Fathi Abu Sayyaf, seorang Mujahidin asal Yordania yang telah lebih dulu
berjihad di Chechnya.
Ia menjelaskan kepada Khattab tentang negeri Chechnya
dan bagaimana caranya untuk dapat masuk ke sana.
Dari informasi tersebut, Khattab
kemudian langsung melakukan perjalanan menuju ke wilayah pegunungan selatan Chechnya yang terkenal sangat berat kondisi
medannya lewat wilayah Dagestan. Dari Afghanistan, Khattab pergi bersama 8 orang
Mujahidin lainnya sekitar bulan Februari 1995, dan tiba di wilayah Chechnya
ketika musim semi. Dengan pengalaman tempur yang lebih dari cukup, kesembilan
orang itu otomatis langsung membentuk diri mereka menjadi sebuah unit
tempur-pengintai (reconnaissance-fighting
unit). Kelak unit ini merupakan inti dari pasukan pejuang Islam
internasional di Chechnya, seperti halnya Brigade Islam Internasional pimpinan
Abu Abdel Aziz “Barbaros” di Bosnia.
Khattab menguasai empat bahasa
dengan fasih, yaitu bahasa Arab, Inggris, Rusia, dan Pashtun, sehingga mudah
baginya untuk berkomunikasi dan beradaptasi di negeri-negeri bekas pecahan Uni
Soviet seperti Chechnya.
Sebagai sebuah kelompok pengintai, pada mulanya Khattab bersama rekan-rekannya
menyamar sebagai reporter televisi setibanya di Chechnya untuk mempelajari situasi
dan kondisi sesungguhnya yang tengah terjadi. Selama bertugas sebagai reporter itu, Khattab banyak
bertemu dengan warga masyarakat Chechen dan mewawancarainya untuk dimintai
pendapat mereka tentang jihad di Chechnya. Khattab juga membuat sejumlah film
dokumentasi tentang penderitaan dan perjuangan umat Islam Chechnya, termasuk
juga sejumlah video operasi militer para pejuang Chechen melawan tentara Rusia.
Keputusan untuk langsung segera terjun ke medan jihad
Chechnya terjadi saat Khattab bertemu dengan seorang nenek dan mewawancarai apa
pendapatnya tentang jihad melawan Rusia
yang tengah berlangsung. Nenek itu berkata dengan yakin; "Kami ingin mereka pergi dari tanah kami
sehingga kami dapat menjalankan syariat Islam." Ketika nenek itu
ditanya oleh Khattab bagaimana ia dapat membantu jihad melawan Rusia, nenek itu
menjawab bahwa ia hanya memiliki sebuah jaket dan ia akan menyumbangkannya di
jalan Allah. Mendengar jawaban sang nenek, Khattab pun terharu dan menangis
hingga "janggutnya basah oleh air matanya". Pertemuan itu akhirnya menjadi
salah satu momen penting dalam hidup Khattab untuk mengawali karir jihadnya di Chechnya secara
total.
Debut sukses pertama Khattab di medan tempur jihad Chechnya adalah saat ia memimpin
operasi penyergapan konvoi kendaraan militer Rusia di dekat desa Yarysh Mardy
pada tanggal 16 April 1996 yang kemudian dikenal sebagai “Shatoy Ambush”. Beberapa bulan setelah itu, Khattab
kembali memimpin grup Mujahidin bentukannya untuk melancarkan serangan besar terhadap
sebuah barak tentara Rusia, dan berhasil menghancurkan sejumlah helikopter
tempur Rusia dengan menggunakan peluncur rudal anti-tank jenis AT-3 Sagger. Selama berlangsungnya operasi
penyerangan ini, kembali para Mujahidin memfilmkan aksi mereka, termasuk pada saat
penghancuran helikopter-helikopter tempur Rusia. Operasi-operasi militer
pasukan Mujahidin yang dipimpin Khattab memang terbilang selalu spektakuler,
dan tingkat kehancuran yang ditimbulkannya pun selalu tidak tanggung-tanggung.
Unit pasukan pimpinan Khattab semakin
tumbuh besar dan bertambah banyak jumlah anggotanya seiring dengan semakin
banyak berdatangan para pejuang Islam dari berbagai penjuru wilayah ke Chechnya.
Mereka dengan resiko sendiri antara lain datang dari berbagai wilayah di Timur
Tengah, seperti Arab Saudi, Turki,
Pakistan,
bahkan ada yang dari Eropa dan Amerika. Di Chechnya, mereka bergabung dengan
unit pimpinan Khattab yang memang terdiri dari orang-orang asing dari luar
wilayah Chechnya.
Pihak Rusia mengklaim jumlah mereka mencapai 6.000 orang. Namun tampaknya
jumlah ini terlalu dibesar-besarkan mengingat efek destruktif mereka yang
sangat besar bagi pihak militer Rusia, karena yang sebenarnya jumlah mereka tidak
lebih dari 80 – 100 orang saja. Keunggulan mereka bukan terletak pada jumlah,
tetapi pada kualitas skill individu
mereka yang setara bahkan jauh melebihi kemampuan unit-unit pasukan khusus
dunia, dan yang terpenting adalah bukti nyata kontribusi militer mereka di Chechnya.
Motivasi yang tinggi dari para
Mujahidin mancanegara ini juga memainkan peranan kunci dalam mengajarkan para
pejuang muslim Chechnya bagaimana taktik perang gerilya ala Mujahidin
Afghanistan, seperti dalam penggunaan ranjau yang dikendalikan remote-control untuk menghancurkan
iring-iringan konvoi kendaraan lapis baja, kemudian strategi-strategi
penyergapan (ambush strategies),
taktik hit and run, juga muslihat
dalam membunuh (assassination stratagems),
dan lain sebagainya. Mereka juga bertindak sebagai fasilitator atau mediator
dalam penyebaran informasi, rekruitmen, dan menggalang dana perjuangan dari
donatur-donatur muslim, terutama dari wilayah Timur Tengah, yang ingin
menyalurkan zakat mereka untuk perjuangan kaum muslimin Chechnya. Ilyas Akhmadov, mantan
Menteri Luar Negeri Chechnya,
mengatakan, “Mereka telah memberi kontribusi yang sangat besar untuk perjuangan
kami dengan mengajari kami taktik perang gerilya Afghanistan.”
Khattab diantara para pejuang muslim Chechnya. Tampak di belakangnya seorang
dengan ikat kepala hitam bertuliskan kalimat syahadat
adalah Movladi Udogov
salah seorang tokoh pejuang muslim Chechnya yang terkenal cukup
radikal.
Atas kontribusi para Mujahidin Arab
yang sangat besar, banyak komandan lapangan pejuang muslim Chechnya yang bersimpati dan
menaruh hormat kepada Khattab dan anggota unit pasukannya. Bahkan seringkali menggabungkan
kekuatan pasukan mereka dalam sejumlah operasi militer bersama. Salah seorang
komandan pejuang muslim Chechnya
yang dikenal amat dekat dengan Khattab tentu saja adalah Shamil Basayev. Ia
adalah sosok paling radikal dan paling sukses diantara komandan pasukan pejuang
Chechnya lainnya, dimana ia pernah memimpin satu grup tempur (squad) pejuang Chechen melancarkan serangan
invasi ke wilayah Rusia, tepatnya ke kota Budennovsk pada tahun 1995. Di sana, Basayev menyandera sebuah rumah sakit yang membuat shock Presiden Boris Yeltsin, sehingga
memaksa pihak Rusia untuk menghentikan operasi militernya di wilayah Chechnya
selama beberapa bulan.
Ketika pertama kali Basayev
mendengar tentang serangan penyergapan yang dipimpin Khattab di dekat desa
Yarysh Mardy, Basayev langsung mendeklarasikan secara luas kepada khalayak ramai
bahwa Khattab adalah saudaranya. Sebagai bentuk penghormatan dan untuk didaulat
sebagai saudara, Khattab kemudian diundang untuk tinggal menetap di rumah
ayahnya Basayev, Salman Basayev, yang terletak di desa Dyshne Vedeno. Di sana, Khattab pun disambut
meriah dan dielu-elukan oleh seluruh warga desa yang menyambut kedatangannya
sebagai seorang pahlawan besar.
Khattab dan Basayev kemudian
menjadi saudara dalam jihad. Kedua unit pasukan mereka selalu bahu-membahu
dalam melancarkan berbagai operasi militer gabungan melawan pasukan penjajah
kafir Rusia. Ketika akhirnya pasukan pejuang muslim Chechnya berhasil meraih
kemenangan gemilang pada bulan Agustus 1996, dengan direbutnya kembali ibukota
Grozny dari tangan penjajah Rusia yang berhasil mereka depak keluar dalam
sebuah serangan umum mendadak, persaudaraan antara Khattab dan Basayev tetap
tidak pernah luntur. Meskipun pasca penarikan mundur tentara-tentara Rusia dari
wilayah Chechnya dan ditandatanganinya perjanjian damai Khasav-Yurt yang
menandai kemerdekaan Chechnya secara de
facto, muncul suara-suara sumbang yang menginginkan agar Khattab segera pergi
dari wilayah Chechnya, mengingat paham Islam radikal yang dibawanya
dikhawatirkan akan mempengaruhi paham Islam sufi tradisional yang dianut oleh
sebagian besar warga Chechnya. Tetapi Basayev tetap mempertahankan dan
melindungi keberadaan saudaranya dari suara-suara miring tersebut. Apalagi pada
kenyataannya sebagian besar warga masyarakat Chechen tidak melihat adanya
masalah dengan keberadaan Khattab di antara mereka. Mereka justru masih merasa
memerlukan dan menghendaki Khattab agar tetap berada di wilayah Chechnya sebagai tamu dan bagian dari mereka,
mengingat jasa-jasa yang begitu besar yang telah diberikan Khattab kepada umat
Islam Chechnya.
Usai Perang Chechnya I,
Khattab bahkan sempat dianugerahi dua penghargaan militer tertinggi Chechnya
oleh Presiden Zelimkhan Yandarbiyev, yaitu medali Ordor of Honor dan Brave
Warrior. Khattab kemudian diangkat menjadi seorang jenderal dan dinobatkan
sebagai Pahlawan Nasional Chechnya.
No comments:
Post a Comment