ABDUL
HAKIM AL-SHISHANI
Amir Mujahidin Ajnad
Al-Kavkaz
Oleh : Ari Subiakto
Informasi tentang komandan Mujahidin etnis Chechen yang satu ini memang
sangat terbatas. Awal kiprahnya di Suriah pun sedikit sekali mendapat perhatian
atau pemberitaan media. Namun kini, kelompok Mujahidin yang dipimpinnya
merupakan kelompok Mujahidin Chechnya terbesar di Suriah dan termasuk salah
satu kelompok Mujahidin asing yang diperhitungkan keberadaannya dalam jihad
Suriah. Semua tak lepas dari kerja keras dan sosoknya yang pernah ditempa oleh
pahit-getirnya medan perang Chechnya yang memang terkenal ganas dan brutal. Dia
adalah Abdul Hakim al-Shishani, Mujahidin Chechnya generasi kedua yang
menghabiskan hampir seluruh hidupnya di medan perang dan kini menjadi komandan
Ajnad al-Kavkaz, kelompok Mujahidin yang sebagian besar anggotanya
berasal dari wilayah Kaukasus Utara dan bermarkas di wilayah pegunungan
Latakia, Suriah.
Abdul Hakim al-Shishani komandan Mujahidin Ajnad al-Kavkaz.
Abdul
Hakim al-Shishani memiliki nama asli Rustam Azhiev. Ketika pecah perang
Chechnya yang pertama pada tahun 1994, usianya baru genap 12 tahun. “Saya
menyaksikan semuanya,” kenang Azhiev dalam sebuah wawancara di suatu tempat
rahasia di kota Istanbul, Turki, pada musim gugur tahun 2015. “Saya menyaksikan
bagaimana bangsa kami dibantai, dan bukan karena kami teroris. Dalam perang
yang pertama, belum ada istilah yang namanya teroris. Saya menyaksikan
pesawat-pesawat mengebomi desa-desa, membunuh laki-laki dan perempuan.”
Ketika
perang Chechnya yang pertama berakhir di bulan Agustus 1996 yang ditandai
dengan kesepakatan perundingan damai Khasav-Yurt, Chechnya menjadi negara yang
merdeka secara de facto. Kondisi yang
berlaku di masyarakat pun relatif tenang. Meski ada sejumlah kasus pembunuhan
dan penculikan, namun setidaknya tidak ada perang yang terjadi saat itu. Azhiev
yang ketika itu mulai beranjak remaja, bersama keluarganya tinggal di daerah
pinggiran kota. Seperti umumnya anak-anak seusianya saat itu, Azhiev sangat
menyukai olahraga, terutama olahraga seni bela diri. Bahkan adik laki-laki
Azhiev sendiri, Anzor Azhiev, saat ini dikenal sebagai atlit seni bela diri (martial art) yang paling terkenal di
Polandia.
Pada
tahun 1999, ketika Perang Chechnya II pecah, Azhiev dan semua teman sekolahnya
pergi ke medan perang. Selama lebih dari dua bulan lamanya (Desember 1999 –
Januari 2000), mereka turut bertempur mempertahankan ibukota Grozny dari
gempuran masif mesin-mesin perang tentara penjajah Rusia, hingga akhirnya
ibukota Chechnya tersebut berubah menjadi puing-puing dan reruntuhan yang
kehancurannya belum pernah ada yang menandingi sejak Perang Dunia II. Pada awal
bulan Februari 2000 itu, pasukan pejuang Chechnya mundur dan melakukan evakuasi
besar-besaran dari ibukota Grozny untuk mengungsi ke wilayah pegunungan di selatan
Chechnya. Azhiev termasuk salah satu yang mengungsi bersama mereka.
Dua
tahun kemudian, tepatnya di bulan Februari 2002, Shamsuddin Salavatov, seorang
militan Chechen yang tergabung dalam kelompok Mujahidin yang dipimpin Komandan
Khattab, membentuk kelompok jihadnya sendiri dari sejumlah warga desa
Prigorodnoye yang terletak di salah satu distrik kota Grozny. Termasuk mereka yang
direkrut olehnya adalah Rustam Basayev, Dzhambulat Sadayev, dan Rustam Azhiev.
Shamsuddin Salavatov sendiri sebelumnya tergabung dalam unit yang dipimpin oleh
seorang Mujahidin Arab asal Yordania bernama Abu Yakub yang menurut informsi
pihak Rusia adalah komandan unit sabotase dan ahli bahan peledak dalam pasukan
Mujahidin pimpinan Komandan Khattab. Namun Abu Yakub kemudian dilaporkan
terbunuh di bulan Oktober 2001. Salavatov bersama unit yang dibentuknya
kemudian bergabung dengan pasukan Mujahidin Arab lainnya yang dipimpin Abu
Tariq yang kemudian akhirnya juga dilaporkan terbunuh di Chechnya pada tanggal
27 Desember 2002 setelah baru saja diangkat sebagai salah seorang deputi Abu
al-Walid (pengganti Komandan Khattab yang syahid diracun bulan Maret 2002).
Shamsuddin Salavatov sendiri akhirnya ditangkap oleh otoritas pemerintah Rusia
pada tahun 2004 dan diadili oleh Pengadilan Tinggi Chechnya pada bulan Februari
2005 atas tuduhan serangkaian serangan teroris.
Dengan
ditangkapnya Salavatov, posisi pimpinan kelompok Mujahidin yang dibentuknya
lalu digantikan oleh Rustam (Abubakar) Basayev dan sebagai wakilnya adalah
Rustam Azhiev. Pada bulan Juni 2006, di bawah pimpinan Rustam Basayev yang ternyata
masih saudara sepupu dengan Shamil Basayev, unit Mujahidin dimana Azhiev
bergabung diberi kepercayaan oleh Amir Mujahidin ChRI (Chechen Republic of Ichkeria) yang baru, Emir Dokka Umarov, untuk
bertanggung jawab atas wilayah Front Chechnya Pusat. Tapi sayangnya, masa
kepemimpinan Rustam Basayev sendiri tidak lama karena ia gugur terbunuh di
tahun 2007, sehingga otomatis jabatan sebagai komandan pun langsung digantikan
oleh Rustam Azhiev. Pada tahun 2007 tersebut, teman-teman masa kecil Azhiev
yang masih hidup juga hanya tinggal tersisa satu atau dua orang saja,
selebihnya telah tewas terbunuh oleh kekejaman pasukan Rusia dan kaki
tangannya.
Rustam Azhiyev (kiri) berfoto bersama Abubakar Basayev yang mengindikasikan
ia bergabung dengan unit Mujahidin Chechen Front Tengah sepanjang tahun 2006 -
2007.
Rustam Azhiev (kiri) saat masih berjihad di Chechnya dan sebelum terjadinya
insiden ledakan detonator bom yang mencederai tangan dan matanya.
Pada
bulan Agustus 2009, para pejuang Chechen dari Front Tengah Chechnya tengah
mempersiapkan sebuah operasi militer untuk menghabisi seorang pengkhianat, saat
ledakan sebuah detonator bom menyebabkan tangan kanan Azhiev terluka parah
hingga kehilangan tiga jarinya dan sempat mengalami kerusakan pengelihatan pada
salah satu matanya. Azhiev pun segera dilarikan ke Istanbul, Turki, untuk
menjalani perawatan medis. Di sanalah ia kemudian “terperangkap” karena tidak
bisa kembali lagi ke wilayah Kaukasus mengingat pemerintah Rusia pasti tidak
akan membiarkan orang seperti dirinya kembali masuk ke wilayah Chechnya. Azhiev
akhirnya terpaksa harus tinggal di Turki selama beberapa tahun sebelum kemudian
memutuskan untuk pergi berjihad ke Suriah pada tahun 2012.
Di
Suriah, Rustam Azhiev kemudian lebih dikenal dengan nama Abdul Hakim
al-Shishani. Ia bersama seorang rekannya yang sama-sama dirawat di Turki, Khamza
al-Shishani, kemudian membentuk satu kelompok jihad kecil di wilayah Latakia
yang anggotanya ketika itu baru beberapa orang saja, yang diberi nama Khalifat
Jamaat. Karena hanya kelompok jihad kecil, jamaah yang dipimpin Abdul Hakim pun
belum banyak terdengar kiprahnya sepanjang tahun 2013 – 2014. Meski turut ambil
bagian dalam sejumlah operasi ofensif yang digelar oleh faksi-faksi besar
Mujahidin Suriah dan terlibat dalam sejumlah pertempuran, termasuk dalam
ofensif untuk merebut kota Kessab di tahun 2014, namun keberadaanya masih baru
hanya sekedar sebagai “anak bawang” yang ikut meramaikan kancah jihad di
Suriah. Untuk turut ambil bagian dalam sejumlah operasi ofensif, Khalifat
Jamaat pun harus menginduk ke sejumlah faksi yang lebih besar, seperti faksi
Ansar al-Sham pimpinan Abu Musa al-Shishani (mantan deputi Abu Umar al-Shishani
di JMA), atau bersama-sama sejumlah faksi kecil lainnya membentuk sebuah koalisi
jamaah, seperti koalisi Jamaah Ahadun Ahad pimpinan Amir Al-Bara al-Shishani.
Pada
bulan November 2014, jamaat Jund al-Qawqaz yang berbasis di Qunaitra dan
Latakia, dimana anggotanya terdiri dari orang-orang etnis Circassia dan
Abkhazia yang telah lama tinggal dan menjadi penduduk Suriah, memutuskan untuk
bergabung dengan Khalifat Jamaat, sehingga menjadikan kekuatan personil
kelompok pimpinan Abdul Hakim ini pun semakin bertambah.
Serangan ke Kota Idlib (2015)
Seiring
dengan semakin bertambahnya jumlah anggota yang turut bergabung, memasuki tahun
2015, nama Khalifat Jamaat diganti dengan Ajnad al-Kavkaz yang artinya “Tentara
Kaukasus” atau kelompok jihad yang anggotanya adalah representasi atau terdiri
dari para Mujahidin yang beretnis Kaukasus. Bersama dengan faksi Jabhat
al-Nusrah dan sejumlah kelompok jihad lainnya yang berada di Idlib, para
Mujahidin Ajnad al-Kavkaz melakukan penyerbuan ke kota Idlib pada bulan Maret
2015. Dalam sebuah video yang diunggah pada akhir bulan Maret tersebut
dinarasikan bagaimana mereka berhasil melancarkan serangan memasuki kota Idlib
dan membuat pasukan pemerintah Suriah kocar-kacir.
Kota itu [Idlib] hampir sepenuhnya terkepung kecuali jalan utama menuju ke
Latakia. Operasi ini, terlaksana
berkat rahmat dan pertolongan dari Allah, juga organisasi dan koordinasi dari
semua jamaah yang ikut ambil bagian dalam serangan (Ahrar al-Sham, Jabhat al-Nusra,
Jund al-Aqsa dan kelompok-kelompok jihad lainnya).
Di salah satu area kami juga ikut berpartisipasi, para pejuang asing yang
terlibat lebih dari 50 orang Mujahidin. Jamaat Ajnad al-Kavkaz, amir Abdul
Hakim dan juga satu kelompok dari jamaat Tarkhan, pimpinan amir Umar
al-Shishani. Para pejuang asing berdatangan
bersama kelompok-kelompok serbu yang dipimpin oleh Amir Abdul Kasvar dari
jamaat Ajnad al-Kavkaz.
Tanggal 24 Maret: Operasi kami dimulai dengan bombardir yang intensif
terhadap posisi-posisi Assadiyah [tentara pemerintah Suriah]. Di hari pertama
pejuang Ansar melakukan dua operasi bom bunuh diri dengan menggunakan dua
kendaraan lapis baja BMP yang penuh bermuatan bahan peledak. Kemudian infantri mulai bergerak menyerbu dengan
senjata-senjata kaliber besar.
Tanggal 25 Maret: Jamaat kami bergerak ke pinggiran kota siang ini. Satu
serangan ke posisi-posisi kaum kafir [tentara pemerintah Suriah] dilakukan di
bawah perlindungan sebuah tank. Menjelang malam pertempuran mulai surut. Kami
menghabiskan malam di garis depan.
Tanggal 26 Maret: Di pagi hari tentara pemerintah Suriah mencoba
melancarkan satu penyerbuan ke posisi-posisi kami. Segala puji bagi Allah, usai
tembakan balasan yang gencar dari senapan mesin dan granat peluncur roket,
mereka berhasil dipukul mundur dengan menderita sejumlah kerugian. Sepanjang
siang hari pesawat-pesawat musuh dan helikopter-helikopter dan artileri
melakukan pengeboman. Namun senjata-senjata tak berhenti membalas,
“meriam-meriam neraka”, mortir-mortir dan peluncur-peluncur roket. Menjelang
malam terjadi satu serbuan kedua dan para pejuang Ansar merangsek maju dengan
berani sambil meminta para pejuang asing untuk melindungi mereka. Pasukan
pemerintah Suriah pun mundur.
Tanggal 28 Maret: Di pagi hari kami memulai ofensif. Dengan kemurahan
Allah, hari itu berawan. Kadang-kadang hujan gerimis turun, sehingga artileri
dan pesawat [tentara pemerintah Suriah], yang terus bekerja sepanjang hari
sejak dimulainya operasi, tidak lagi berguna. Dengan mengendalikan sepenuhnya
aksi antar kelompok, para Mujahidin bergerak dari blok ke blok. Para sniper
musuh berupaya untuk menghentikan serangan, namun upaya itu tidak dapat
menghentikan para Mujahidin. Ketika para Mujahidin datang mendekati
posisi-posisi [tentara pemerintah Suriah] mereka lari tunggang-langgang. Allah
telah menebarkan teror ke dalam hati mereka. Sejumlah prajurit Suriah pun
berusaha untuk bersembunyi di dalam rumah-rumah untuk menyamar sebagai warga
sipil.
Usai terlibat selama 5 hari pertempuran
menaklukkan kota Idlib, pada tanggal 2 April 2015, para Mujahidin Ajnad
al-Kavkaz kembali bergerak melanjutkan aksinya dengan ikut ambil bagian dalam
satu operasi penyerbuan ke distrik al-Mastoum yang berada di bagian selatan
kota Idlib. Sasaran penyerbuan kali ini adalah sebuah kamp militer pasukan
pemerintah Suriah. Namun sayangnya, serangan ini berhasil dipukul mundur
kembali.
Impian dan Harapan Abdul Hakim al-Shishani
Hal
yang paling jadi kendala bagi Abdul Hakim al-Shishani untuk menghidupi kelompok
jihad yang dipimpinnya adalah masalah pendanaan. Itulah sebabnya Abdul Hakim
terkadang harus pergi ke Istanbul, meninggalkan garis depan pasukannya di
Suriah untuk memecahkan masalah-masalah mereka yang terkait dengan pendanaan.
Sebagai pemimpin, Abdul Hakim sangat menyadari bahwa pasukannya di Suriah harus
diberi makan, mereka membutuhkan senjata dan amunisi, juga harus menolong
anggota keluarga mereka yang tewas dan terluka. Abdul Hakim bertanggung jawab
terhadap nasib mereka yang bertempur, begitu pula dengan mereka yang tertangkap
dan ditahan oleh otoritas pemerintah Turki di wilayah perbatasan dengan Suriah.
Terlebih lagi setelah Rusia ikut terjun ke dalam konflik di Suriah dan adanya
serangan teroris di Istanbul, Ankara, dan sejumlah kota lainnya, membuat
semakin sulit bagi para Mujahidin asal Kaukasus untuk mencari pendanaan di Turki.
Karena semakin banyak polisi Turki yang berkeliaran di jalan-jalan kota.
Meskipun
kurang dalam hal persenjataan, terutama senjata pertahanan udara, Abdul Hakim
sendiri tidak begitu merasa takut ataupun khawatir dalam menghadapi serangan
udara Rusia atau menjadi target sasaran orang-orang Rusia, baik di Suriah maupun
di Turki. Hanya saja yang ia merasa heran adalah mengapa faksi jihad kecil
seperti Ajnad al-Kavkaz dituduh dan diberi label sebagai kelompok teroris oleh
dunia internasional. Padahal Mujahidin Chechen pimpinannya tidak membunuh para
wanita, anak-anak, ataupun orang tua. Militer Rusia dan pemerintah Suriah-lah
yang justru melakukannya. Para Mujahidin Ajnad al-Kavkaz hanya bertempur
melawan tentara Assad yang dzholim. “Kami hanya ingin menggulingkan tirani,”
ujar Abdul Hakim. “Hanya itu saja.”
Meskipun
saat ini tengah berjihad di Suriah, namun cita-cita dan impian Abdul Hakim yang
sebenarnya adalah membebaskan Chechnya dari belenggu penjajahan bangsa kafir
Rusia. Kelak nantinya, Abdul Hakim ingin agar orang-orang Chechen di Suriah
kembali pulang ke Kaukasus Utara untuk bersatu kembali membangkitkan dan
mengobarkan jihad melawan Rusia. Impian tersebut memang sulit diwujudkan karena
saat ini pihak Rusia mengendalikan sepenuhnya wilayah perbatasan. Meninggalkan
wilayah Kaukasus memang tidaklah sulit, namun pihak Rusia tidak akan membiarkan
orang-orang yang dicurigai sebagai militan untuk bisa pulang kembali. Eksodus
para Mujahidin dari wilayah Kaukasus ke Suriah sebenarnya secara tak langsung
justru malah telah menguntungkan bagi pihak otoritas pemerintah Rusia dan kaki
tangannya karena sejak dimulainya perang sipil di Suriah, terutama sejak
diproklamasikannya Daulah Islamiyah (ISIS), aktivitas militan di wilayah
Kaukasus pun berkurang hampir separuhnya. Tak pelak lagi, kondisi ini jadi
pukulan berat bagi pihak Emirat Kaukasus yang didirikan oleh Dokka Umarov untuk
dapat menyatukan perlawanan umat Islam Kaukasus Utara terhadap hegemoni
penjajah Rusia.
Tetapi
di lain pihak, bagi orang-orang Chechen yang memutuskan untuk pergi ke Suriah,
berjihad di Suriah memiliki tujuan yang jelas, yaitu untuk memerangi sekutu
terkuat Rusia di wilayah Timur Tengah (rezim syiah Bashar al-Assad). Dengan
memerangi sekutu Rusia, maka secara tidak langsung berarti telah memerangi
Rusia sendiri. Apalagi sejak bulan September 2015, pihak militer Rusia telah
terjun secara langsung dalam konflik di Suriah dengan menurunkan sejumlah
personil dan mesin-mesin perangnya untuk membantu pasukan Bashar al-Assad.
Melihat
kondisi ini, Abdul Hakim sendiri percaya bahwa cepat atau lambat, akan ada
sebuah perang global dengan Rusia, dan konflik tersebut akan memberi satu
kesempatan baginya untuk pulang kembali ke tanah airnya. Abdul Hakim mengutip
perkataan presiden pertama Chechnya, Dzhokhar Dudayev, yang pada pertengahan
tahun 1990-an memperingatkan dunia bahwa orang-orang Rusia tidak hanya akan
berhenti di wilayah Kaukasus saja, namun saat itu tidak seorang pun yang
mendengar ucapannya. “Orang-orang Georgia mengira bahwa mereka (orang-orang Rusia)
tidak akan datang…. Orang-orang Ukraina mengira mereka tidak akan datang.
Orang-orang Eropa sekarang mulai berpikir kemungkinan ini,” ujar Abdul Hakim.
“Kami berharap orang-orang Rusia akan datang kepada anda juga. Kami akan senang
jika mereka melakukan itu. Tapi saat itu terjadi, semuanya sudah sangat
terlambat. Lalu anda akan mulai melihat kami, dan kami akan berkata kapada
anda; “tidak ada lagi masyarakat
Kaukasus, yang ada hanyalah teroris internasional.” (***)
Sumber:
Mamon, Marcin. 2016. In Turkey,
A Chechen Commander Makes Plans for War in Syria. https://theintercept.com/2016/09/03/in-turkey-a-chechen-commander-makes-plans-for-war-in-syria/
***
DOKKA UMAROV: AMIR
MUJAHIDIN EMIRAT KAUKASUS
Jalan
jihad untuk menegakkan syariat Islam adalah jalan hidup yang teramat berat.
Tidak banyak manusia yang lahir ke muka bumi ini yang mau memilih jalan ini
sebagai jalan hidupnya. Hanya manusia-manusia terpilih, yang memiliki keyakinan
yang benar dan lurus, juga keberanian dan ketabahan yang tinggi yang bersedia
untuk terjun menapaki jalan ini. Dokka Umarov, pemimpin
pejuang Chechnya, adalah salah satu dari manusia pilihan tersebut. Beliau
memilih jalan jihad sebagai jalan hidupnya, meskipun itu harus dilaluinya
dengan berat dan penuh penderitaan. Dengan berani dan lantang, meski
tidak didukung oleh jumlah dan kekuatan yang besar, beliau memproklamasikan berdirinya Negara Islam Emirat Kaukasus dan menyerukan seruan
jihad global untuk membela dan melindungi umat Islam yang tertindas di seluruh
penjuru dunia.
Buku
berjudul “Dokka Umarov: Amir Mujahidin Emirat Kaukasus” ini adalah buku pertama di Indonesia, bahkan mungkin di dunia, yang secara khusus mengangkat biografi Dokka Umarov, salah seorang tokoh pejuang Chechnya yang paling ditakuti oleh pemerintah Rusia. Meskipun diulas secara ringkas dan sederhana, namun perjalanan jihad Dokka
Umarov yang terangkum dalam buku ini diharapkan
dapat menjadi keteladanan yang menginspirasi kita semua, juga menambah informasi dan wawasan pengetahuan kita mengenai sejarah Islam di wilayah Kaukasia.
Seri 01 Biografi Komandan Mujahidin
Dokka Umarov - Amir Mujahidin Emirat Kaukasus
Tebal: 134 halaman
Ukuran: 21x14,5 cm
Sampul: softcover
Cetakan: Februari 2017
Harga: Rp. 50.000,- (belum termasuk ongkir)
Hanya dapat dipesan langsung, tidak tersedia di toko buku manapun. Bagi yang berminat bisa langsung menghubungi WA: 0817-6977-031