Sunday, February 23, 2014

SEJARAH ARMADA KAPAL SELAM INDONESIA



Oleh : Ari Subiakto


Angkatan Laut Indonesia tercatat memiliki sejarah yang cukup panjang dalam hal pengoperasian kapal selam. Pembangunan kekuatan armada kapal selam telah mulai dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1959, ketika tiba dua unit kapal selam buatan Uni Soviet di pelabuhan Surabaya pada tanggal 7 September 1959. Kedua kapal selam kelas Whiskey yang memiliki kecepatan maksimum 18,3 knot dan dipersenjatai 12 torpedo tersebut secara resmi masuk ke dalam jajaran kekuatan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) pada tanggal 12 September 1959 dengan nama KRI Tjakra (S-01) dan KRI Nanggala (S-02).

Dua tahun kemudian, menyusul pengiriman tahap kedua setelah pemerintah Indonesia kembali memesan kapal selam dengan kelas yang sama dari Uni Soviet sebanyak 10 unit. Pemesanan tahap kedua ini dikirimkan dalam dua gelombang. Gelombang pertama dikirim sebanyak 4 kapal selam yang tiba pada bulan Desember 1961 yang kemudian masing-masing diberi nama; KRI Nagabanda, KRI Trisula, KRI Nagarangsang, dan KRI Tjandrasa. Pengiriman gelombang kedua bersamaan dengan digelarnya kampanye operasi militer Trikora untuk merebut Irian Barat. Sebanyak 6 kapal selam tiba pada bulan Desember 1962 yang kemudian diberi nama; KRI Widjajadanu, KRI Hendradjala, KRI Bramasta, KRI Pasopati, KRI Tjundamani, dan KRI Alugoro. Keenam kapal selam ini telah dilengkapi dengan torpedo jenis SEAT-50, yaitu tipe torpedo fire-and-forget berdaya jangkau 4-8 kilometer yang merupakan torpedo tercanggih pada zamannya dimana hanya pihak Uni Soviet dan Indonesia saja yang memiliki torpedo jenis ini.

Dengan mengoperasikan total sebanyak 12 kapal selam, Indonesia pun menjadi negara dengan kekuatan maritim terbesar yang mengoperasikan kapal selam di kawasan Asia-Pasifik pada dekade tahun 1960-an hingga 1970-an. Sebagai perbandingan, pada tahun 1967, AL Australia sendiri tercatat hanya memiliki 6 kapal selam saja (dari kelas Oberon). Selama berlangsungnya Operasi Trikora sendiri, kehadiran kapal-kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet ini sangat berperan penting dalam menggetarkan nyali pihak lawan. Dari mulai dikerahkan untuk melakukan blokade laut terhadap perairan Irian Barat, hingga digunakan untuk mendukung operasi pengintaian dan menyusupkan pasukan komando ke daratan. Bahkan pada masa-masa itu, kapal-kapal selam Indonesia dengan mudah dapat melakukan penyusupan dan pengintaian di perairan utara Australia atau masuk dan berkeliaran di perairan pelabuhan Singapura, tanpa terdeteksi.

Namun memasuki dekade tahun 1970-an, kapal-kapal selam buatan Uni Soviet ini mulai dibesituakan (scrapped) karena ketiadaan suku cadang akibat renggangnya hubungan RI-Uni Soviet, tanpa diikuti oleh program pengadaan kapal selam pengganti yang baru secara cepat dan memadai. Akibatnya, kekuatan armada bawah air Indonesia pun secara perlahan mulai melorot jumlahnya. Satu-satunya kapal selam terakhir beroperasi dari kelas Whiskey yang masih tersisa, yaitu KRI Pasopati (410), akhirnya dipensiunkan pada tanggal 25 Januari 1990, dan kemudian dijadikan sebagai sebuah museum kapal selam di kota Surabaya.

Museum Kapal Selam KRI Pasopati di Surabya. (Sumber foto: widyarezpect.files.wordpress.com)

Mulai awal dekade tahun 1990-an, Indonesia tercatat hanya tinggal mengoperasikan dua unit kapal selam saja, yaitu KRI Cakra (401) dan KRI Nanggala (402). Kedua kapal selam ini meskipun memiliki nama yang sama dengan dua kapal selam pertama Indonesia, namun keduanya adalah kapal selam dengan kelas yang berbeda, yaitu kapal selam Tipe 209/1300 (1.390 ton) buatan Jerman. Kedua kapal selam ini dibangun di galangan kapal Howaldtswerke, di pelabuhan Kiel, Jerman Barat. KRI Cakra selesai dibangun dan tiba di Indonesia pada tanggal 27 Juli 1981, sedangkan KRI Nanggala menyusul tiba pada tanggal 9 November 1981. Keduanya pun langsung masuk ke dalam jajaran operasional TNI-AL pada tahun itu juga. Meskipun hanya mengoperasikan dua kapal selam, namun sampai dekade awal tahun 1990-an, hanya Indonesia satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang mengoperasikan kapal selam.

Dengan hanya mengoperasikan dua unit kapal selam untuk tugas menjaga perairan Indonesia yang begitu luas, tentu saja jauh dari kata memadai. Selain begitu luasnya wilayah patroli yang harus dikover, pengoperasian hanya dua unit kapal selam membuat jam layar KRI Cakra dan KRI Nanggala sangat tinggi dibandingkan kapal-kapal perang permukaan TNI-AL lainnya. Hal ini tentu menuntut perawatan dan perbaikan yang maksimal pada kedua kapal selam tersebut. Terlebih tujuh tahun setelah perbaikan terakhirnya di tahun 1997, kemampuan kapal selam KRI Cakra semakin menurun, sehingga diperlukan program perbaikan secara menyeluruh, termasuk dengan melakukan modernisasi, mengingat selama lebih dari 20 tahun tidak ada penambahan kapal selam baru di jajaran TNI-AL, sementara perkembangan teknologi persenjataan kapal selam dunia telah berkembang dengan demikian pesat.

KRI Cakra (401).

KRI Nanggala (402).

KRI Cakra dan KRI Nanggala kemudian menjalani proses peremajaan dengan di-upgrade kemampuannya di galangan kapal Daewoo, Korea Selatan. Galangan kapal Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) sendiri adalah sebuah industri pembuatan kapal Korea Selatan di kota Ockpo yang memegang lisensi dari pihak Howaldt Deutsche Werke (HDW) untuk pembangunan kapal selam Tipe 209/1300 di luar Jerman. Proses modernisasi ini mulai dilakukan antara tahun 2004-2006 dan selesai antara tahun 2009-2012. Modernisasi pada kedua kapal selam Indonesia ini meliputi sistem propulsi, sistem deteksi dan navigasi, serta sistem tempur dan pengendali tembakan (fire control). Menurut Kastaf TNI-AL saat itu, Laksamana Slamet Soebijanto, perbaikan dan modernisasi KRI Cakra dan KRI Nanggala telah mengembalikan performa kedua kapal selam tersebut sebesar 80% dari kemampuan maksimalnya.

Secara spesifikasi, KRI Cakra dan KRI Nanggala masing-masing diawaki oleh 34 orang pelaut. Ditenagai oleh empat mesin diesel elektrik yang mampu menghasilkan kecepatan maksimum 21,5 knot di dalam air dan 8 knot di permukaan, dengan daya jelajah mencapai sejauh 740 kilometer pada kecepatan 4 knot. Dalam hal persenjataan, kedua kapal selam yang digolongkan ke dalam kelas Cakra ini masing-masing mampu membawa 14 torpedo, baik torpedo konvensional maupun torpedo jenis SUT (Surface and Undersurface Torpedo) yang lebih canggih. KRI Cakra dan KRI Nanggala saat ini ditempatkan untuk memperkuat jajaran Komando Armada Timur Indonesia yang berpangkalan di Surabaya. (***)

Sumber:

Pramono, Agung. 2013. The History of the Indonesian Submarine Squadron. Undersea Warfare Issue No. 50 Spring 2013. hal 7.

http://garudamiliter.blogspot.com