Monday, December 24, 2012

Monumen Bawah Air Yonaguni



Oleh : Ari Subiakto


Struktur yang satu ini seringkali dijuluki sebagai Piramida Bawah Air”, dan merupakan salah satu bukti penting mengenai dugaan adanya suatu peradaban maju yang telah eksis pada zaman es (Ice Age). Monumen batu misterius ini berada di dasar laut, sekitar 300 mil dari Okinawa, tepatnya di wilayah perairan selatan pulau Yonaguni-Jima, Jepang. Penemuan situs ini berawal pada tahun 1985, ketika seorang penyelam lokal dari Jepang bernama Kihachiro Aratake, melakukan penyelaman di perairan ujung selatan pulau Yonaguni, dan menemukan sesuatu yang tidak lazim di dasar laut, yaitu berupa sebuah formasi batuan bawah air yang terdiri dari teras-teras yang menyerupai anak tangga. Dari pengamatannya, struktur tersebut terlihat seperti hasil buatan manusia. Percaya bahwa dirinya telah menemukan sebuah kota yang tenggelam, Aratake segera melaporkan temuannya, namun sayangnya tidak mendapat cukup perhatian.

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1996, sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Prof. Masaaki Kimura, seorang pakar geologi kelautan dari Universitas Ryukyu, Jepang, memutuskan untuk mulai melakukan survei terhadap struktur bawah air yang ditemukan oleh Aratake tersebut. Meski pada mulanya banyak peneliti yang beranggapan bahwa struktur tersebut hanyalah merupakan fenomena geologi alami, namun dari hasil survei yang dilakukan, Prof. Kimura berkesimpulan dan menyakini bahwa struktur monumen batu bawah air Yonaguni itu adalah hasil buatan manusia (man-made), sekaligus juga merupakan bukti peninggalan adanya sebuah peradaban maju tak dikenal di zaman pra sejarah yang kemungkinan berpusat di daratan utama Asia. Kimura sendiri kemudian dikenal sebagai pembela paling gigih pandangan yang menyatakan bahwa struktur monumen bawah air Yonaguni adalah struktur artifisial (buatan manusia).

Monumen batu Yonaguni dibentuk dari satu formasi batu raksasa. Puncaknya berjarak sekitar 5 meter di bawah permukaan air laut, dan dari dasarnya berjarak 25 meter. Konstruksinya terdiri dari batuan megalitik raksasa yang memiliki panjang 50 meter dari timur ke barat, dan lebar lebih dari 20 meter dari utara ke selatan. Meski sepintas bentuknya terlihat tidak beraturan karena strukturnya yang asimetris, namun sebagian sisi-sisinya ternyata memiliki sudut-sudut yang sangat presisi dan geometris. Menurut Prof. Kimura, bentuk-bentuk tersebut mengindikasikan bahwa formasi batu Yonaguni pada mulanya adalah sebuah struktur geologi alami yang telah mengalami modifikasi.

Sebagian dari superstruktur monumen Yonaguni yang berukuran sangat besar ini juga memperlihatkan adanya sebuah platform yang menyerupai tipe step-pyramid, yaitu tipe struktur piramida yang tersusun atas undak-undakan anak tangga yang mengerucut. Undak-undakan tangga batu pada monumen Yonaguni terlihat sangat geometris dengan ketinggian yang bervariasi, yaitu mulai hanya kurang dari 0,5 meter hingga setinggi beberapa meter.

Undak-undakan tangga batu pada monumen Yonaguni yang terbentuk secara sangat lurus dan geometris.

Kimura beralasan jika lima lapis lantai undak-undakan pada situs Yonaguni tersebut terbentuk oleh proses alam, tentunya akan ditemukan bekas-bekas reruntuhan hasil erosi di sekitar dasar struktur formasi batuan tersebut. Tapi kenyataannya sama sekali tidak ada fragmen-fragmen batuan yang ditemukan di sekitar dasar struktur monumen batu Yonaguni. Selain itu, Kimura juga menambahkan bahwa pada struktur monumen Yonaguni terlihat adanya sebuah jalan yang melingkari situs tersebut, juga sejumlah lubang yang terlihat sejajar yang kesemuanya dengan jelas mengindikasikan adanya bekas-bekas aktifitas manusia. Kimura percaya bahwa struktur formasi batuan tersebut merupakan monumen hasil dari pencapaian teknologi tingkat tinggi. Bahkan mungkin dibangun dengan menggunakan mesin-mesin berat.

Lantas mengapa situs Yonaguni saat ini berada di dalam air? Ada beberapa kemungkinan skenario yang diyakini oleh para peneliti. Pertama, situs ini mungkin tenggelam ketika level permukaan air laut meningkat di penghujung akhir zaman es, dimana pada saat itu banyak lapisan es di sejumlah benua dan daratan utama mulai mencair. Kedua, wilayah perairan Jepang merupakan kawasan “Cincin Api” atau “Ring of Fire” yang merupakan jalur vulkanik gunung berapi dunia, dimana aktivitas tektonik yang kemungkinan terjadi di wilayah tersebut telah menyebabkan amblesnya daratan di sekitar Yonaguni. Atau yang ketiga adalah akibat bencana katastropik yang merupakan kombinasi dari kedua faktor penyebab tersebut, yaitu amblesnya daratan yang disertai peningkatan level permukaan air laut.

Pendapat Prof. Kimura di atas juga turut diperkuat oleh Teruaki Ishii, seorang profesor geologi dari Universitas Tokyo, yang juga mempercayai bahwa monumen Yonaguni adalah sebuah monolit raksasa yang sebagian dibuat atau dibentuk oleh manusia, dan sebagian lainnya merupakan hasil bentukan alami. Jika diyakini bahwa situs Yonaguni tenggelam ketika level permukaan air laut meningkat di penghujung akhir zaman es, maka dapat diperkirakan bahwa monumen batu bawah air ini dibuat sekitar 10.000 tahun yang lalu atau antara tahun 10.000 – 8000 SM. Ketika itu, lokasi tempat berdirinya monumen batu Yonaguni masih berupa daratan kering yang lebih tinggi dari level permukaan air laut, dimana Laut Jepang masih berupa daratan dan Laut Kuning tidak ada, sehingga manusia dan hewan dapat bermigrasi langsung ke Semenanjung Ryukyu dari daratan Asia, dan Yonaguni sendiri berada di ujung paling selatan dari jembatan daratan yang menghubungkan wilayah Taiwan, Ryukyu, Jepang dan Asia tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah gua bawah air di wilayah dekat Yonaguni yang memiliki stalaktit dan stalagmit, yaitu struktur geologis alami yang hanya dapat terbentuk pada gua yang berada di daratan.

Meskipun sebagian peneliti telah menyakini bahwa monumen batu Yonaguni adalah struktur buatan manusia, namun belum diketahui bangunan apa sebenarnya monumen batu Yonaguni dan apa fungsinya. Sebagian berpendapat bahwa monumen batu Yonaguni dahulunya adalah sebuah tempat pemujaan. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah struktur formasinya yang terlihat menyerupai altar persembahan berbentuk lingkaran lengkap dengan anak-anak tangga untuk mencapainya. Struktur menyerupai altar tersebut berada di tempat-tempat khusus yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, sehingga besar kemungkinan tempat-tempat itu memang digunakan sebagai tempat upacara (ceremonial). Namun ada juga yang beranggapan bahwa monumen batu Yonaguni dahulunya adalah pulau yang menjadi semacam pelabuhan transit di tengah laut bagi penduduk Asia yang ingin bermigrasi ke wilayah Amerika Utara, mengingat jembatan alami berupa daratan yang menghubungkan antara wilayah Asia dan Amerika Utara telah terputus sejak 15.000 tahun yang lalu.

Daftar Pustaka

Faram, Arthur. 2011. Yonaguni Pyramid: A Geoglyphic Study of The Yonaguni
Monolith, Japan. The Faram Research Foundation. http://www.yonaguni.ws/