Wednesday, October 3, 2012

Perjalanan Jihad Komandan Khattab (Part 1)



Oleh : Ari Subiakto

“Jika anda mengatakan kepada saya saat di Afghanistan bahwa suatu hari nanti akan tiba waktunya kita akan berperang dengan Rusia di wilayah Rusia sendiri, saya tidak akan pernah percaya kepada anda.” (Komandan Khattab)


Komandan Khattab (1969 – 2002)

Tanggal 16 April 1996, sebuah konvoi yang terdiri dari sekitar 50 kendaraan militer milik Resimen Rifle Bermotor Ke-245 Rusia, menyusuri sebuah jalan lintas di wilayah pegunungan Argun Gorge, tak begitu jauh dari dusun Yarysh Mardy, selatan Chechnya. Konvoi kendaraan militer tersebut mengangkut pasukan Rusia yang baru saja melakukan operasi militer berupa aksi sweeping dan pembantaian massal yang dikenal dengan istilah zatchistka di sebuah desa yang dihuni kaum muslim Chechnya. Saat konvoi tersebut tengah melintasi sebuah jalan pegunungan yang berkelok-kelok, dimana hutan lebat di satu sisi dan lembah sungai di sisi yang lain, tiba-tiba terdengar suara ledakan keras di depan iring-iringan konvoi tersebut. Sebuah tank yang berada paling depan hancur dan terbakar. Detik berikutnya adalah mimpi buruk bagi konvoi tentara Rusia tersebut.

Dari salah satu sisi jalan yang berupa lereng yang terlindungi oleh lebatnya hutan, sekitar 50 orang pejuang muslim Chechen melancarkan serangan penyergapan secara mendadak dari tempat persembunyiannya. Menyusul ledakan tank yang berada paling depan tadi, ledakan berikutnya berasal dari tembakan peluncur granat RPG yang menghantam kendaraan komunikasi konvoi tersebut, lalu diikuti oleh ledakan kendaraan lapis baja angkut personil (Armoured Personnel Carriers – APC) yang berada paling belakang dan paling depan, sehingga praktis memerangkap unit-unit sisanya ke dalam zona pembantaian (killing field). Pasukan Rusia pun terjebak dan terperangkap di antara kendaraan-kendaraan militer mereka tanpa bisa berkomunikasi untuk meminta bantuan ataupun menyebutkan posisi mereka. Serangan para pejuang muslim Chechnya tersebut secara sistematis menghabisi satu-persatu ranpur lapis baja BMP dan truk transport Kamaz Rusia yang terperangkap dengan tembakan peluncur granat penembus baja hingga ludes tak bersisa.

Setelah sekitar selama dua jam penyerangan, para pejuang muslim Chechnya kemudian keluar dari persembunyiannya, menyerang turun, menghabisi tanpa ampun sisa-sisa tentara Rusia yang terluka atau yang mencoba melarikan diri dari kendaraan-kendaraan militer mereka yang terbakar. Sebanyak 223 personil tentara Rusia tewas, termasuk diantaranya adalah 26 perwira senior, dan hanya menyisakan segelintir kecil tentara Rusia yang berhasil lolos dari penyergapan maut tersebut untuk menceritakan peristiwa yang mengerikan itu kepada rekan-rekannya.

Di antara kobaran api dan asap hitam yang mengepul dari bangkai-bangkai kendaraan militer Rusia yang terbakar, terlihat sesosok figur sentral yang terfilmkan oleh salah seorang anggota pejuang Chechnya yang turut dalam serangan tersebut. Ia berjalan di antara mayat-mayat tentara Rusia yang bergelimpangan di tengah jalan sambil mengangkat sepucuk senapan serbu AK-47 dan meneriakkan takbir “Allahu Akbar!” Ketika asap yang menyelimuti tempat itu perlahan mulai lenyap, tampaklah seraut wajah asing yang menunjukkan bahwa ia bukanlah orang Chechnya atau dari etnis Kaukasia, melainkan wajah seorang Arab. Penampilannya begitu khas. Janggut dan rambut yang gondrong, bertubuh gempal, serta mengenakan topi baret berwarna hitam. Siapakah orang ini?

Para pejuang Chechnya memanggilnya dengan sebutan Ameer Khattab atau Komandan Khattab. Ia adalah seorang keturunan Arab, veteran Perang Afghanistan yang menjadi komandan pasukan Mujahidin asal negara-negara Arab dan wilayah Timur Tengah lainnya yang berjihad di Chechnya. Munculnya para veteran Perang Afghanistan di medan pertempuran Chechnya tentu saja mengguncang pihak militer Rusia. Karena taktik serangan penyergapan yang terjadi di dekat desa Yarysh Mardy ini adalah taktik perang gerilya khas kaum Mujahidin Afghanistan yang sukses dalam membantai tentara-tentara Soviet di wilayah pegunungan sepanjang berkecamuknya Perang Afghanistan di era tahun 1980-an.

Kabar tentang peristiwa penyergapan maut di dekat desa Yarysh Mardy yang dipimpin oleh Khattab ini pun makin menggemparkan publik Rusia, manakala video serangan yang didokumentasikan oleh para pejuang Chechnya tersebut beredar dan ditayangkan secara luas ke seantero wilayah Chechnya. Video kemenangan tersebut disaksikan dan disambut sorak-sorai teriakan takbir warga masyarakat dan seluruh pejuang muslim Chechnya. Mereka terharu dan bangga, akhirnya kini mereka tidak lagi berjuang sendirian.

Serangan penyergapan di dekat desa Yarysh Mardy ini tercatat sebagai salah satu serangan telak paling mengerikan yang dialami oleh pihak militer Rusia selama Perang Chechnya I. Akibat peristiwa ini, Menteri Pertahanan Rusia, Pavel Grachev, mengundurkan diri, dan 3 orang jenderal Rusia di Chechnya dipecat dari jabatannya. Kehadiran Khattab di medan perang Chechnya ini telah menggetarkan nyali dan merupakan ancaman yang serius bagi pemerintah Rusia, sehingga oleh pihak Rusia, Khattab kemudian dijuluki sebagai “Osama bin Laden-nya Chechnya”.

Khattab memiliki nama asli Samir bin Saleh bin Abdullah Al Suwailem. Ia dilahirkan pada tanggal 14 April 1969 di sebuah kota kecil bernama Ar’ar, dekat perbatasan utara Arab Saudi. Ayahnya adalah seorang Arab dan ibunya keturunan Turki. Sejak kecil Khattab memang telah mengidolakan Khalifah Umar bin Khattab r.a. sehingga mengganti nama panggilannya dengan nama ibnul Khattab. Sejak kecil, Khattab dikenal pula sebagai anak yang cerdas dan gemar menolong orang lain yang tengah ditimpa kesusahan. Ia pun dikenal oleh keluarganya sebagai pribadi yang tidak pernah marah. Selalu suka bercanda dan senang bermain dengan anak-anak.

Karir jihadnya dimulai ketika Khattab berusia 17 tahun. Saat itu tahun 1987, Khattab mendengar seruan jihad Dr. Sheikh Abdullah Azzam, dan ia pun langsung memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tanah kelahirannya, Arab Saudi, untuk berjihad membantu kaum muslimin Afghanistan melawan invasi tentara komunis Uni Soviet. Salah seorang Mujahidin Afghanistan yang mengenalnya, menceritakan saat pertama kali Khattab muda tiba di kamp pelatihan dekat kota Jalalabad, Afghanistan; "Kamp pelatihan dekat Jalalabad selalu penuh dengan saudara-saudara yang datang dan pergi hampir setiap hari. Kami tengah mempersiapkan untuk sebuah operasi besar menghadapi Rusia, dan ada beberapa saudara kami yang telah menyelesaikan pelatihan mereka tengah mengemasi tas mereka dan bersiap meninggalkan kamp untuk segera pergi ke garis depan. Saat kami tengah bersiap-siap untuk pergi ke garis depan, sekelompok rekrutan baru tiba. Saya melihat seorang anak muda remaja diantara rekrutan baru tersebut, usianya antara 16-17 tahun, dengan rambut gondrong dan jenggot yang baru mulai tumbuh. Ia segera pergi menemui sejumlah komandan kamp pelatihan dan mulai memohon kepada mereka agar mengizinkannya untuk ikut serta pergi ke garis depan. Para komandan tentu saja menolak untuk mengirimkan seorang anak muda yang tak terlatih ke front pertempuran tanpa mendapat pelatihan apa pun sebelumnya. Saya segera pergi mendekatinya, memberi salam dan menanyakan namanya. Ia menjawab, 'Ibn-ul-Khattab'."

Khattab kemudian mendapatkan pelatihan kemiliteran di kamp dekat kota Jalalabad tersebut. Salah seorang yang pernah menjadi pelatihnya adalah Hassan As-Sarehi, komandan Operation Lion’s Den di Jaji, Afghanistan. Sebuah operasi militer kaum Mujahidin di tahun 1987 yang sangat terkenal karena merupakan pertempuran besar pertama antara sukarelawan asal Arab melawan tentara Uni Soviet di wilayah Afghanistan. Setelah berhasil menyelesaikan pelatihannya, Khattab mulai dikirim ke garis depan. Selama berada di garis depan, Khattab banyak mendapatkan pengalaman tempur dan terlibat langsung dalam sejumlah kontak senjata skala besar melawan unit-unit pasukan khusus (Spetnaz) maupun unit-unit tentara reguler Uni Soviet. Ia tercatat selalu hadir di semua operasi militer besar sepanjang berlangsungnya Jihad Afghan antara tahun 1988 hingga 1993, termasuk dalam penaklukan Jalalabad, Khost, dan Kabul.

Saat itu, sama sekali tak ada yang mengira bahwa enam tahun kemudian anak muda bernama Khattab ini akan menjadi salah seorang komandan pasukan Mujahidin yang paling berani dan paling hebat yang pernah dikenal dunia di abad ke-20. Selama berjihad di Afghanistan, Khattab juga dikenal sebagai seorang Mujahidin yang tidak pernah duduk diam berlindung saat dihujani tembakan musuh. Ia selalu aktif mencari celah untuk balas menyerang. Khattab juga dikenal sebagai seorang yang tak pernah memperlihatkan rasa sakit akibat luka yang dideritanya di medan pertempuran.

Salah seorang Mujahidin pernah menceritakan bagaimana saat Khattab terluka parah oleh sebutir peluru senapan mesin berat kaliber 12.7 mm yang bersarang dalam perutnya (peluru senapan mesin kaliber 12.7 mm umumnya dipakai untuk menembus lapisan baja atau menghancurkan posisi pertahanan musuh, dan di tangan seorang personil militer yang berpengalaman, peluru senapan mesin ini jika mengenai tubuh manusia akan menjadikannya seperti daging cincang); "Selama berlangsungnya salah satu operasi militer, kami duduk-duduk dalam ruangan sebuah rumah kecil di garis belakang. Saat itu malam hari dan pertempuran di garis depan berlangsung sangat sengit. Beberapa saat kemudian, Khattab memasuki ruangan; wajahnya terlihat pucat, tapi selebihnya ia terlihat berusaha untuk bersikap normal seperti biasa. Ia masuk, berjalan sangat lambat ke arah salah satu sisi ruangan dan kemudian duduk di sebelah kami. Khattab tidak biasanya terlihat pendiam, sehingga saudara-saudara yang lain curiga pasti ada sesuatu yang buruk menimpanya, meski ia tidak sedikit pun mengingkari atau memperlihatkan tanda-tanda rasa sakit apa pun. Kami bertanya padanya apakah ia terluka; ia menjawab bahwa di garis depan, ia mendapatkan satu luka ringan, tidak ada yang serius. Salah seorang saudara kami kemudian menghampirinya untuk melihat lukanya. Khattab menolak untuk memperlihatkannya, sambil mengatakan bahwa lukanya tidak serius. Saudara kami tersebut memaksa Khattab untuk memperlihatkan lukanya dan kemudian meletakkan tangannya ke perut Khattab. Ia melihat pakaian Khattab basah kuyub oleh darah dan Khattab mengalami pendarahan berat. Kami kemudian segera memanggil sebuah mobil dan melarikannya ke rumah sakit lapangan terdekat, sepanjang perjalanan Khattab beberapa kali berusaha menyakinkan kami bahwa lukanya ringan dan tidak ada yang serius."

Tidak hanya luka di perut akibat tembakan senapan mesin berat, selama di Afghanistan, Khattab juga kehilangan jari-jari tangan kanannya saat tengah berusaha melemparkan sebuah granat tangan rakitan. Granat tersebut meledak terlalu dini di tangannya sehingga jari-jarinya pun hancur. Rekan-rekan sesama Mujahidin berusaha membujuknya untuk pergi ke Peshawar guna memperoleh perawatan medis, namun Khattab menolaknya. Ia lebih memilih membalur luka di tangannya dengan madu, seperti yang disunahkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan kemudian membalutnya dengan kain. Setelah itu kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa sama sekali merasa perlu untuk pergi ke Peshawar.

Usai penarikan mundur pasukan Soviet dari Afghanistan dan kaum komunis pun berhasil dikalahkan oleh kaum Mujahidin, Khattab sempat pulang kembali ke kampung halamannya di Arab Saudi. Tetapi ketika Khattab mendengar kabar tentang adanya perang melawan kaum komunis di Tajikistan, sebuah republik bekas pecahan Uni Soviet di wilayah Asia Tengah, Khattab pun menolak untuk tetap tinggal, meski telah dibujuk oleh kedua orang tuanya. Khattab segera mengemasi barang-barangnya, dan pergi ke Tajikistan pada tahun 1993.

Di Tajikistan, Khattab bertempur di medan bersalju dan pegunungan tanpa senjata dan amunisi yang memadai untuk membantu pasukan Islam yang dipimpin Said Abudullo Nuri melawan pemerintah komunis yang tetap mengendalikan wilayah tersebut pasca runtuhnya Uni Soviet. Setelah selama dua tahun berjihad di Tajikistan, Khattab kembali ke Afghanistan di awal tahun 1995 bersama satu grup kecil rekan-rekannya sesama Mujahidin. Pada saat itu, perang di Chechnya baru saja dimulai, dan banyak orang yang masih bingung dengan latar belakang agama masyarakat Chechen karena nama negeri itu masih terdengar asing di telinga mereka.

Pertama kali Khattab mendengar adanya jihad di Chechnya ketika ia tengah menyaksikan sebuah siaran televisi satelit di Afghanistan tahun 1995. Siaran televisi tersebut menampilkan orang-orang Chechen dengan ikat kepala bertuliskan kalimat syahadat, tengah meneriakkan takbir sambil mengangkat senjata untuk melawan tentara-tentara Rusia. Khattab menceritakan perasaannya saat ia melihat siaran berita tentang adanya jihad di Chechnya tersebut; "Ketika saya melihat sekelompok pejuang Chechen memakai ikat kepala bertuliskan 'La ilaha illalah...' (Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya), dan meneriakkan takbir (Allahu-Akbar!), Saya menyadari bahwa ada jihad di Chechnya dan saya harus pergi ke sana."

Saat itu pulalah Khattab menyadari bahwa kaum kafir Rusia tampaknya ingin kembali mengulangi konflik di Afghanistan dengan cara menyerang dan memerangi secara brutal umat Islam Chechnya. Sebagai seorang Mujahidin, pembela umat Islam yang juga merupakan veteran Perang Afghanistan, Khattab merasa perlu untuk turun tangan membantu saudara-saudaranya yang tertindas.

Semangat dan komitmen jihad di dalam dada Khattab memang tak lepas dari pengaruh Sheikh Abdullah Azzam, seorang doktor berkebangsaan Palestina lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo. Beliau mengobarkan semangat jihad dan menyerukan kepada para pemuda Arab untuk berjihad di Afghanistan dengan cara mendirikan kamp pelatihan militer di sana. Saat konflik di Afghanistan antara kaum Mujahidin dengan tentara Soviet mulai mereda pada tahun 1988, Sheikh Abdullah Azzam mulai menyerukan pembentukan brigade trans-nasional (brigade tentara Islam lintas negara) untuk melindungi segenap komunitas umat Islam yang ada di berbagai penjuru dunia dari ancaman dan penindasan kaum kafir. Usai runtuhnya Uni Soviet, banyak anggota brigade pasukan bentukan Sheikh Abdullah Azzam ini yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, dari Bosnia hingga Filipina untuk melaksanakan misinya.

Salah satu tempat tujuan para Mujahidin veteran perang Afghanistan ini tentu saja adalah Chechnya, dimana invasi skala besar militer Rusia terhadap wilayah ini di tahun 1994 – 1995 yang memperlihatkan kebrutalan tentara-tentara Rusia terhadap kaum muslimin Chechnya menjadi magnet yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para Mujahidin veteran Perang Afghanistan untuk berdatangan. Kondisi ini tentu saja merupakan ancaman tersendiri bagi pemerintah Rusia, karena mereka adalah para pembunuh orang kafir yang profesional (professional infidel-killers) yang tidak perlu diragukan lagi kemampuannya.

Meskipun tekadnya telah bulat, namun ketika itu Khattab belum tahu dimana letak wilayah Chechnya, karena nama negeri itu masih terdengar asing baginya. Ia hanya tahu cerita tentang seorang pejuang Islam dari wilayah Kaukasus bernama Imam Shamil yang berjihad melawan Rusia kemudian meninggal dan dimakamkan di Madinah. Khattab baru mengetahui tentang Chechnya setelah mendapat surat dari Fathi Abu Sayyaf, seorang Mujahidin asal Yordania yang telah lebih dulu berjihad di Chechnya. Ia menjelaskan kepada Khattab tentang negeri Chechnya dan bagaimana caranya untuk dapat masuk ke sana.

Dari informasi tersebut, Khattab kemudian langsung melakukan perjalanan menuju ke wilayah pegunungan selatan Chechnya yang terkenal sangat berat kondisi medannya lewat wilayah Dagestan. Dari Afghanistan, Khattab pergi bersama 8 orang Mujahidin lainnya sekitar bulan Februari 1995, dan tiba di wilayah Chechnya ketika musim semi. Dengan pengalaman tempur yang lebih dari cukup, kesembilan orang itu otomatis langsung membentuk diri mereka menjadi sebuah unit tempur-pengintai (reconnaissance-fighting unit). Kelak unit ini merupakan inti dari pasukan pejuang Islam internasional di Chechnya, seperti halnya Brigade Islam Internasional pimpinan Abu Abdel Aziz “Barbaros” di Bosnia.

Khattab menguasai empat bahasa dengan fasih, yaitu bahasa Arab, Inggris, Rusia, dan Pashtun, sehingga mudah baginya untuk berkomunikasi dan beradaptasi di negeri-negeri bekas pecahan Uni Soviet seperti Chechnya. Sebagai sebuah kelompok pengintai, pada mulanya Khattab bersama rekan-rekannya menyamar sebagai reporter televisi setibanya di Chechnya untuk mempelajari situasi dan kondisi sesungguhnya yang tengah terjadi. Selama bertugas sebagai reporter itu, Khattab banyak bertemu dengan warga masyarakat Chechen dan mewawancarainya untuk dimintai pendapat mereka tentang jihad di Chechnya. Khattab juga membuat sejumlah film dokumentasi tentang penderitaan dan perjuangan umat Islam Chechnya, termasuk juga sejumlah video operasi militer para pejuang Chechen melawan tentara Rusia.

Keputusan untuk langsung segera terjun ke medan jihad Chechnya terjadi saat Khattab bertemu dengan seorang nenek dan mewawancarai apa pendapatnya tentang jihad melawan Rusia yang tengah berlangsung. Nenek itu berkata dengan yakin; "Kami ingin mereka pergi dari tanah kami sehingga kami dapat menjalankan syariat Islam." Ketika nenek itu ditanya oleh Khattab bagaimana ia dapat membantu jihad melawan Rusia, nenek itu menjawab bahwa ia hanya memiliki sebuah jaket dan ia akan menyumbangkannya di jalan Allah. Mendengar jawaban sang nenek, Khattab pun terharu dan menangis hingga "janggutnya basah oleh air matanya". Pertemuan itu akhirnya menjadi salah satu momen penting dalam hidup Khattab untuk mengawali karir jihadnya di Chechnya secara total.

Debut sukses pertama Khattab di medan tempur jihad Chechnya adalah saat ia memimpin operasi penyergapan konvoi kendaraan militer Rusia di dekat desa Yarysh Mardy pada tanggal 16 April 1996 yang kemudian dikenal sebagai “Shatoy Ambush”. Beberapa bulan setelah itu, Khattab kembali memimpin grup Mujahidin bentukannya untuk melancarkan serangan besar terhadap sebuah barak tentara Rusia, dan berhasil menghancurkan sejumlah helikopter tempur Rusia dengan menggunakan peluncur rudal anti-tank jenis AT-3 Sagger. Selama berlangsungnya operasi penyerangan ini, kembali para Mujahidin memfilmkan aksi mereka, termasuk pada saat penghancuran helikopter-helikopter tempur Rusia. Operasi-operasi militer pasukan Mujahidin yang dipimpin Khattab memang terbilang selalu spektakuler, dan tingkat kehancuran yang ditimbulkannya pun selalu tidak tanggung-tanggung.

Unit pasukan pimpinan Khattab semakin tumbuh besar dan bertambah banyak jumlah anggotanya seiring dengan semakin banyak berdatangan para pejuang Islam dari berbagai penjuru wilayah ke Chechnya. Mereka dengan resiko sendiri antara lain datang dari berbagai wilayah di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Turki, Pakistan, bahkan ada yang dari Eropa dan Amerika. Di Chechnya, mereka bergabung dengan unit pimpinan Khattab yang memang terdiri dari orang-orang asing dari luar wilayah Chechnya. Pihak Rusia mengklaim jumlah mereka mencapai 6.000 orang. Namun tampaknya jumlah ini terlalu dibesar-besarkan mengingat efek destruktif mereka yang sangat besar bagi pihak militer Rusia, karena yang sebenarnya jumlah mereka tidak lebih dari 80 – 100 orang saja. Keunggulan mereka bukan terletak pada jumlah, tetapi pada kualitas skill individu mereka yang setara bahkan jauh melebihi kemampuan unit-unit pasukan khusus dunia, dan yang terpenting adalah bukti nyata kontribusi militer mereka di Chechnya.

Motivasi yang tinggi dari para Mujahidin mancanegara ini juga memainkan peranan kunci dalam mengajarkan para pejuang muslim Chechnya bagaimana taktik perang gerilya ala Mujahidin Afghanistan, seperti dalam penggunaan ranjau yang dikendalikan remote-control untuk menghancurkan iring-iringan konvoi kendaraan lapis baja, kemudian strategi-strategi penyergapan (ambush strategies), taktik hit and run, juga muslihat dalam membunuh (assassination stratagems), dan lain sebagainya. Mereka juga bertindak sebagai fasilitator atau mediator dalam penyebaran informasi, rekruitmen, dan menggalang dana perjuangan dari donatur-donatur muslim, terutama dari wilayah Timur Tengah, yang ingin menyalurkan zakat mereka untuk perjuangan kaum muslimin Chechnya. Ilyas Akhmadov, mantan Menteri Luar Negeri Chechnya, mengatakan, “Mereka telah memberi kontribusi yang sangat besar untuk perjuangan kami dengan mengajari kami taktik perang gerilya Afghanistan.”


Khattab diantara para pejuang muslim Chechnya. Tampak di belakangnya seorang
dengan ikat kepala hitam bertuliskan kalimat syahadat adalah Movladi Udogov
salah seorang tokoh pejuang muslim Chechnya yang terkenal cukup radikal.

Atas kontribusi para Mujahidin Arab yang sangat besar, banyak komandan lapangan pejuang muslim Chechnya yang bersimpati dan menaruh hormat kepada Khattab dan anggota unit pasukannya. Bahkan seringkali menggabungkan kekuatan pasukan mereka dalam sejumlah operasi militer bersama. Salah seorang komandan pejuang muslim Chechnya yang dikenal amat dekat dengan Khattab tentu saja adalah Shamil Basayev. Ia adalah sosok paling radikal dan paling sukses diantara komandan pasukan pejuang Chechnya lainnya, dimana ia pernah memimpin satu grup tempur (squad) pejuang Chechen melancarkan serangan invasi ke wilayah Rusia, tepatnya ke kota Budennovsk pada tahun 1995. Di sana, Basayev menyandera sebuah rumah sakit yang membuat shock Presiden Boris Yeltsin, sehingga memaksa pihak Rusia untuk menghentikan operasi militernya di wilayah Chechnya selama beberapa bulan.

Ketika pertama kali Basayev mendengar tentang serangan penyergapan yang dipimpin Khattab di dekat desa Yarysh Mardy, Basayev langsung mendeklarasikan secara luas kepada khalayak ramai bahwa Khattab adalah saudaranya. Sebagai bentuk penghormatan dan untuk didaulat sebagai saudara, Khattab kemudian diundang untuk tinggal menetap di rumah ayahnya Basayev, Salman Basayev, yang terletak di desa Dyshne Vedeno. Di sana, Khattab pun disambut meriah dan dielu-elukan oleh seluruh warga desa yang menyambut kedatangannya sebagai seorang pahlawan besar.

Khattab dan Basayev kemudian menjadi saudara dalam jihad. Kedua unit pasukan mereka selalu bahu-membahu dalam melancarkan berbagai operasi militer gabungan melawan pasukan penjajah kafir Rusia. Ketika akhirnya pasukan pejuang muslim Chechnya berhasil meraih kemenangan gemilang pada bulan Agustus 1996, dengan direbutnya kembali ibukota Grozny dari tangan penjajah Rusia yang berhasil mereka depak keluar dalam sebuah serangan umum mendadak, persaudaraan antara Khattab dan Basayev tetap tidak pernah luntur. Meskipun pasca penarikan mundur tentara-tentara Rusia dari wilayah Chechnya dan ditandatanganinya perjanjian damai Khasav-Yurt yang menandai kemerdekaan Chechnya secara de facto, muncul suara-suara sumbang yang menginginkan agar Khattab segera pergi dari wilayah Chechnya, mengingat paham Islam radikal yang dibawanya dikhawatirkan akan mempengaruhi paham Islam sufi tradisional yang dianut oleh sebagian besar warga Chechnya. Tetapi Basayev tetap mempertahankan dan melindungi keberadaan saudaranya dari suara-suara miring tersebut. Apalagi pada kenyataannya sebagian besar warga masyarakat Chechen tidak melihat adanya masalah dengan keberadaan Khattab di antara mereka. Mereka justru masih merasa memerlukan dan menghendaki Khattab agar tetap berada di wilayah Chechnya sebagai tamu dan bagian dari mereka, mengingat jasa-jasa yang begitu besar yang telah diberikan Khattab kepada umat Islam Chechnya. Usai Perang Chechnya I, Khattab bahkan sempat dianugerahi dua penghargaan militer tertinggi Chechnya oleh Presiden Zelimkhan Yandarbiyev, yaitu medali Ordor of Honor dan Brave Warrior. Khattab kemudian diangkat menjadi seorang jenderal dan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Chechnya.