Tuesday, January 3, 2012

MUJAHIDIN BOSNIA: THE FORGOTTEN WARRIOR


Oleh : Ari Subiakto

Perang Bosnia adalah merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah menimpa kaum muslimin. Tragedi yang terjadi di sebuah negara kecil di Semenanjung Balkan bernama Bosnia Herzegovina ini berlangsung antara tahun 1992 - 1995. Negara ini dahulunya merupakan bagian dari Federasi Yugoslavia, dimana mayoritas penduduknya adalah muslim sejak masuknya Islam pada abad ke-14. Pada tahun 1991, runtuhnya Uni Soviet menimbulkan efek domino bagi negara-negara komunis di Eropa timur, termasuk Yugoslavia, yang pecah menjadi 6 negara bagian, yaitu Serbia, Kroasia, Bosnia, Macedonia, Slovenia, dan Montenegro.

Serbia yang berupaya untuk mempertahankan kekuasaan Federasi Yugoslavia mulai berupaya untuk mencaplok wilayah-wilayah negara bagian tetangganya yang berbeda secara etnis dan agama. Tiga negara bagian dengan etnis penduduk yang terbesar, yaitu Serbia yang beragama Kristen Ortodok, Bosnia yang muslim, dan Kroasia yang beragama Katolik Roma, kemudian mulai terlibat konflik. Serbia, sebagai etnis terbesar, di bawah pimpinan “Tukang Jagal dari Balkan”, Slobodan Milosevic, sangat berambisi untuk mewujudkan negara Serbia Raya dan menentang keras berdirinya negara Bosnia pada tahun 1992 yang mayoritas muslim. Ia kemudian berupaya untuk mencaplok wilayah Bosnia dengan cara memusnahkan seluruh penduduknya.

Bosnia Herzegovina yang dipimpin Presiden Alija Izetbegovic merupakan negara berpenduduk 4,3 juta jiwa dengan komposisi 43,7% etnis Bosnia, 31,3% etnis Serbia atau Serbia-Bosnia, 17,3% etnis Kroasia atau Kroasia-Bosnia, dan 5,5% sisanya etnis lainnya (Hamdi, 2006). Pada awal pecahnya perang di tahun 1992, etnis Bosnia dan etnis Kroasia di Bosnia (Kroasia-Bosnia) bekerja sama menghadapi invasi serangan tentara-tentara Serbia. Namun ketika kondisi pihak Bosnia mencapai titik kritis, dimana sekitar 70% wilayah Bosnia berhasil direbut oleh Serbia, etnis Kroasia di Bosnia dengan didukung negara Kroasia berbalik berkhianat dan berupaya merebut 30% sisa wilayah Bosnia. Akibatnya, pihak Bosnia hanya tinggal menguasai 10% sisa wilayahnya karena sebanyak 20%-nya kemudian diambil Kroasia.

Hal ini terjadi karena diam-diam, Presiden Kroasia Franjo Tudman memang telah melakukan pembicaraan rahasia dengan Slobodan Milosevic sejak awal tahun 1991 yang dikenal dengan Kesepakatan Koradordevo untuk sama-sama mencaplok wilayah Bosnia. Serbia menginginkan semua wilayah Bosnia dimana etnis Serbia tinggal di dalamnya yang meliputi wilayah timur dan barat Bosnia, sementara Kroasia mengambil sisanya. Akibatnya, kaum muslimin Bosnia pun menjadi target sasaran yang empuk dan terjepit oleh dua serangan musuh sekaligus, dimana militer Bosnia sendiri sangat lemah persenjataannya dan sama sekali tidak siap untuk berperang. Sangat berbeda dengan Serbia yang memang mewarisi persenjataan dan perlengkapan militer bekas angkatan bersenjata Federasi Yugoslavia. Masalah bagi pihak militer Bosnia pun semakin bertambah dengan adanya embargo senjata oleh PBB terhadap seluruh negara bekas Yugoslavia.

Maka dimulailah tragedi memilukan yang menimpa kaum muslimin Bosnia saat tentara-tentara Serbia dengan ganas dan brutal menyerbu masuk ke dalam kota-kota dan desa-desa yang dihuni oleh penduduk sipil muslim Bosnia. Ketika sejumlah kota dan desa dikuasai oleh pasukan Serbia, yang tak hanya terdiri dari pihak militer dan kepolisian Serbia, tetapi juga dari kekuatan paramiliter (milisi bersenjata) dan kadang warga sipil Serbia, maka rumah-rumah kaum muslim Bosnia secara sistematis satu-persatu digedor dan dirampok. Seluruh penghuninya diseret keluar, kemudian rumahnya pun dibakar. Banyak yang disiksa bahkan dibunuh selama dalam proses tersebut. Selanjutnya, kaum pria dan wanita dipisah. Kaum pria digiring ke kamp-kamp penyiksaan untuk dihabisi atau digiring ke tengah hutan untuk dibantai secara masal, sementara kaum wanita dibawa ke kamp-kamp khusus untuk dianiaya dengan berbagai macam cara, termasuk diperkosa secara masal dan brutal berulang kali. Mereka sengaja dihamili untuk melahirkan anak keturunan Serbia. Serangan brutal Serbia terhadap kaum muslim Bosnia ini pun menjadi tragedi kemanusiaan terbesar dan terparah di Eropa sejak Perang Dunia II.

Kekejian dan kebrutalan tentara Serbia yang diluar batas tersebut kemudian terdengar luas ke seantero dunia, termasuk oleh kaum Mujahidin. Namun tak seperti negara-negara mayoritas muslim, apalagi negara-negara barat dan PBB yang seolah menutup mata terhadap terjadinya peristiwa pembantaian besar-besaran tersebut, kaum Mujahidin tidak tinggal diam mendengar saudara-saudaranya diperlakukan keji seperti itu. Kekejaman tentara Serbia seakan menjadi “undangan” tersendiri bagi kaum Mujahidin. Memasuki tahun 1993, wilayah Balkan pun menjadi target tujuan utama bagi para Mujahidin veteran Perang Afghanistan asal negara-negara Arab yang tanpa dikomando berbondong-bondong mulai berdatangan, mengalir dari berbagai penjuru wilayah. Salah seorang dari mereka adalah Mujahidin kawakan, Sheikh Abu Abdul Aziz “Barbaros”.

Sheikh Abu Abdul Aziz “Barbaros” komandan pasukan Mujahidin asing di Bosnia.

Sheikh Abu Abdul Aziz atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama panggilan Ameer Barbaros alias “Si Janggut Merah”, karena beliau memiliki janggut yang panjang berwarna merah pirang, adalah veteran Perang Afghanistan asal Arab. Nama asli Abu Abdul Aziz sebenarnya adalah Abdulrahman al-Dosari. Beliau lahir di Saudi Arabia pada tahun 1942. Pertama kali mulai pergi berjihad pada tahun 1984 saat ia tergugah oleh seruan jihad Dr. Sheikh Abdullah Azzam untuk melawan invasi tentara Soviet di Afghanistan. Tak lama setelah itu, Abu Abdul Aziz pun telah bergabung bersama saudara-saudaranya di Afghanistan. Selama berlangsungnya pertempuran di Afghanistan, Abu Abdul Aziz dijuluki “Hown” karena keahliannya dalam mengoperasikan peluncur roket artileri “Hound” buatan Soviet. Abu Abdul Aziz termasuk lulusan angkatan pertama “Akademi Jihad” Maktab al-Khidamat yang didirikan oleh Sheikh Abdullah Azzam bersama Osama bin Laden.

Usai jihad di Afghanistan yang ditandai oleh jatuhnya kota Kabul ke tangan kaum Mujahidin, Abu Abdul Aziz yang selalu mengingat sabda Rasulullah SAW bahwa “Puncak tertinggi dari Islam adalah Jihad”, sempat pergi berjihad ke Kashmir. Namun ketika pecah perang di Yugoslavia dan tersiar kabar tentang pembantaian kaum muslimin Bosnia, Abu Abdul Aziz bersama empat orang rekan Mujahidin segera pergi ke Bosnia untuk mengecek sendiri situasi dan kondisi yang sebenarnya. Temuan para utusan tersebut di lapangan membenarkan bahwa memang telah terjadi pembantaian terhadap kaum muslimin Bosnia dan sebagian lainnya dipaksa untuk mengungsi meninggalkan rumah dan tanah air mereka. Abu Abdul Aziz juga melihat bahwa kaum muslim Bosnia tanpa pertahanan, perlindungan, dan juga persenjataan. Situasi di sana benar-benar membuat kaum muslim Bosnia putus asa dan seolah tanpa harapan.

Sebagai respon permohonan bantuan dari kaum muslimin Bosnia, secara bertahap mulai berdatangan dan berkumpul sekitar 300 – 500 sukarelawan jihad yang datang dari berbagai penjuru untuk membela kehormatan saudara-saudara mereka di Bosnia dari kekejaman dan kebiadaban kaum Serbia. Sebagian besar dari mereka adalah para veteran Perang Afghanistan yang dipersenjatai dan telah sangat terlatih. Mereka benar-benar telah siap bertempur hidup dan mati bersama-sama dengan kaum muslim Bosnia untuk melawan serangan dan ancaman kaum Kristen Ortodok Serbia maupun kaum Katolik Roma Kroasia.
 
Jumlah sukarelawan jihad dari berbagai wilayah yang datang ke Bosnia akhirnya lebih dari cukup untuk membentuk kekuatan satu batalyon pasukan yang terdiri dari orang-orang non-Bosnia. Meskipun orang-orang Arab terbilang minoritas di dalam batalyon tersebut bila dibandingkan dengan para Mujahidin lainnya yang diantaranya ada yang berasal dari Turki, Pakistan, Iran, Afrika Utara, bahkan Eropa dan Amerika, namun sebagai veteran Perang Afghanistan yang telah banyak makan asam garam medan pertempuran, Abu Abdul Aziz alias Ameer Barbaros kemudian dipercaya sebagai komandan batalyon pasukan Mujahidin yang dikelompokkan tersendiri sebagai sebuah detasemen khusus pada tanggal 13 Agustus 1993 dengan nama Kateebat al-Mujahideen (Batalyon Mujahidin) atau orang-orang Bosnia menyebutnya “El-Mudzahidin”. Batalyon pasukan khusus ini tergabung dan berada di bawah komando langsung AD Bosnia (Bosnian Armed Forces) dengan nama Batalyon Ke-7 Tentara Bosnia (SEDMI KORPUS, ARMIJA REPUBLIKE BH).

 
Tentara Mujahidin Bosnia dalam sebuah parade kemenangan di kota Zenica tahun 1995.

Sebagai pasukan yang sebagian besar anggotanya terdiri dari para veteran Perang Afghanistan, personil anggota Batalyon Ke-7 rata-rata sangat terlatih dalam menggunakan berbagai macam jenis senjata otomatis, terutama buatan Rusia, seperti granat berpeluncur roket (rocket-propelled grenades) RPG dan sejumlah jenis mortir. Batalyon Mujahidin di medan pertempuran Bosnia ini merupakan batalyon pasukan infantri yang memiliki mobilitas yang sangat tinggi. Batalyon ini bertindak sebagai unit pasukan pemukul atau pendobrak yang ditempatkan sebagai ujung tombak ofensif militer Bosnia, terutama oleh Korps Ke-3 pimpinan Enver Hadzihasanovic. Para sukarelawan Islam yang tergabung dalam batalyon ini memainkan peranan kunci dalam setiap operasi militer kaum muslim Bosnia dalam merebut kembali wilayah-wilayah mereka yang semula diduduki oleh pihak Serbia dan Kroasia. Mereka bahkan merupakan pemain utama dalam merebut kembali kota Santici pada tahun 1994.

Seorang reporter Newsweek yang pernah mengunjungi markas para pejuang Islam ini mendapat banyak informasi positif dari warga Bosnia perihal keberadaan mereka. “Mereka adalah para pejuang yang sangat hebat,” ujar Osman Sekic, seorang tukang kayu berumur 46 tahun asal Visenjevo. “Mereka sama sekali tidak takut mati.” Tentara lokal Bosnia yang pernah ikut bertempur bersama para Mujahidin ini sangat terkesan dengan keberanian mereka, juga dengan kemampuan mereka dalam menebarkan teror ke dalam hati tentara-tentara Serbia yang akan langsung gemetar ketakutan begitu mendengar teriakan “Allahu Akbar!” di medan pertempuran. “Mereka datang kemari untuk mencari syahid,” ujar Elis Bektas, seorang komandan peleton Tentara Bosnia berumur 22 tahun. “Demi meraihnya, mereka tidak pernah mundur sejengkal pun.”

“Kesaktian” para Mujahidin juga tergambar dari komentar seorang pejuang Bosnia bernama Ridzik Safet, “Tentara Islam itu memang hebat,” ujar Safet sambil mengacungkan jempolnya. “Jika semua pejuang Bosnia bertempur seperti mereka, perang ini akan berakhir hanya dalam waktu 20 hari.” Lebih lanjut menurut keterangan Safet, “Tentara Islam itu sangat mobil, menggunakan taktik perang gerilya. Mereka tak cuma bertempur, tapi juga membantu pengungsian. Berapa jumlah mereka? Saya tak tahu persis. Dalam unit pasukan saya saja ada sekitar 180 tentara Islam. Mereka dari Sudan, Saudi, Turki, Kuwait, dan Yordania.”

Para Mujahidin yang dikirim ke medan pertempuran sebagian besar adalah mereka yang memang sudah kenyang makan asam garam medan perang Afghanistan. Namun yang belum punya pengalaman tempur, akan dilatih lebih dulu di sejumlah kamp pelatihan, salah satunya adalah yang didirikan oleh Sheikh Abu Abdul Aziz yang memiliki markas besar dan kamp pelatihan militer di Mehurici, sebuah desa kecil di luar Travnik, wilayah tengah Bosnia. Keberadaan Sheikh Abu Abdul Aziz di desa kecil ini merupakan berkah dan kebanggan tersendiri bagi para warganya. Tidak ada seorang Serbia atau Kroasia pun yang berani menyerang desa ini. Sebagai komandan Mujahidin, ketika Sheikh Abu Abdul Aziz masuk ke desa ini, seluruh warga desa akan keluar dari rumah mereka untuk menyambut kedatangannya. Tidak peduli anak-anak, tua-muda, semuanya turun ke jalan. Bahkan mereka datang dari sejumlah desa tetangga. Dengan senyuman, mereka bersorak sorai, mengelu-elukan Sheikh Abu Abdul Aziz.

Para Mujahidin kemudian secara aktif mulai merekrut para pemuda lokal Bosnia untuk mengikuti pelatihan militer, mendapatkan seragam dan persenjataan. Kamp pelatihan juga tidak hanya didirikan di Poljanice, dekat Mehurici, tetapi juga di kota Zenica dan desa Orasac. Sehingga Batalyon Mujahidin ini akhirnya tak hanya berisi orang-orang Arab atau dari etnis non-Bosnia, tetapi juga dari etnis Bosnia sendiri. Dalam kehidupan sosial, mereka juga mulai membaur dengan warga etnis Bosnia. Menikahi para wanita Bosnia, terutama para korban pemerkosaan, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab moril mereka terhadap saudara sesama muslim.

Selain memberikan pelatihan dan pendidikan militer, para Mujahidin juga mengajarkan agama Islam kepada warga masyarakat Bosnia yang sempat lupa akan agamanya. Menurut keterangan Sheikh Abu Abdul Aziz dalam sebuah wawancara dengan Al-Sirat Al-Mustaqeen, warga muslim Bosnia menjadikan musibah tragedi kemanusiaan yang menimpa mereka sebagai hikmah pelajaran, dan menganggap kehadiran kaum Mujahidin sebagai berkah tersendiri:
Jika tidak karena semua ini, kami mungkin tidak akan pernah mengenal Allah. Kami juga mungkin tidak pernah pergi ke masjid. Kaum laki-laki, wanita, dan anak-anak kami mungkin akan kehilangan moral dan perilaku Islami dalam penampilan mereka, sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara seorang Muslim dengan Kristen. Selama ini muslimah Bosnia berpakaian yang menampakkan auratnya, tapi kini, alhamdulillah, masjid-masjid di Bosnia selalu penuh, para wanitanya memakai jilbab, dan mereka bangga mengenakannya.

Semua itu secara tidak langsung berkat kehadiran kaum Mujahidin di tengah-tengah mereka. Secara umum, komitmen untuk kembali ke jalan Allah mulai marak terjadi di Bosnia setelah pecahnya perang. Padahal sebelumnya, masyarakat Bosnia mengenal Islam hanya sekedar namanya saja, dimana Al-Qur’an dan pengajian dilarang oleh pemerintah komunis Yugoslavia sejak rezim Tito.

Di medan pertempuran, dengan pertolongan Allah melalui tangan pasukan Mujahidin yang didukung oleh seluruh kaum muslimin Bosnia, keadaan pun mulai berbalik 180 derajat. Tentara Serbia dan Kroasia yang semula ganas dan brutal terhadap warga sipil Bosnia mulai lari terbirit-birit ketakutan menghadapi serangan kaum Mujahidin. Kepada tentara muslim Bosnia, kaum Mujahidin berbagi taktik dan strategi tempur untuk mengalahkan pasukan musuh yang jauh lebih kuat dan lengkap persenjataannya. Tentara Muslim Bosnia pun mulai percaya diri, bersama kaum Mujahidin, mereka tidak lagi bertahan tapi mulai secara agresif melancarkan ofensif, dan dengan kegigihan dalam bertempur, mereka pun berhasil merebut kembali satu-persatu wilayah strategis yang semula dikuasai musuh.

Dengan kemampuan dan pengalaman tempur di medan perang Afghanistan yang terkenal berat, para Mujahidin mampu menjadikan pasukan Serbia sebagai ajang bulan-bulanan mereka. Harian Novi Vjesnik, melaporkan bagaimana para Mujahidin itu bertempur dengan memakai “taktik Mongol, yang tak bisa diduga datangnya, tiba-tiba menyerang di malam gulita.” Gran Visnar, wartawan harian tersebut, melaporkan dari Bosnia. “Mereka tak kenal ampun, dan tahan berjalan kaki 50 kilometer dalam 10-12 jam sehari,” tulisnya. Menurut laporannya pula, para Mujahidin tersebut tidak bertempur dalam jumlah pasukan yang besar. Melainkan berkelompok, paling banyak hanya sekitar 30 orang. Dalam satu kelompok terdiri dari berbagai bangsa, seperti Turki, Afghanistan, Iran, Pakistan, dan lain-lain. Grup-grup tempur ini beroperasi tak ubahnya bak unit pasukan khusus.

Salah satu operasi militer pasukan Mujahidin Bosnia yang paling sukses adalah ketika mereka melancarkan serangan mendadak terhadap kota Krčevine pada tanggal 21 Juli 1995 yang dikenal dengan nama sandi Operation Miracle. Serangan yang dipimpin oleh Abu Mu'adh al-Kuwaiti ini bertujuan untuk merebut kembali kota Krčevine, Malovan, dan Malije Gaj. Operation Miracle dilancarkan pada sore hari sekitar pukul 15.30 dan berhasil menewaskan sedikitnya 22 personil tentara Serbia (VRS) dan menawan 14 orang lainnya. Meskipun tidak turut langsung dalam operasi penyerbuan ke dalam kota, namun Abu Mu'adh al-Kuwaiti yang merupakan veteran perang Afghanistan, syahid tertembak saat tengah mengobservasi jalannya operasi penyerbuan dari atas bukit.

Salah seorang komandan Mujahidin lainnya, yaitu Abu Omar al-Harbi dari Madinah juga syahid saat memimpin timnya yang terdiri dari enam orang Mujahidin untuk merebut 3 bunker Serbia. Bunker pertama berada tepat di depan medan terbuka sehingga menyulitkan pasukan Mujahidin untuk menembakkan granat peluncur roket (RPG) saat tentara-tentara Serbia yang ada di dalamnya mulai melepaskan tembakan gencar. Tapi al-Harbi dengan penuh keberanian memutuskan untuk berlari menerobos medan terbuka menuju ke arah bunker tersebut, dan menembak mati 2 tentara Serbia yang berada di dalamnya. Anggota timnya yang lain berusaha memperingatkannya bahwa al-Harbi bisa memasuki medan ranjau, tapi jawaban al-Harbi hanya teriakan “Allahu Akbar!” dan terus maju. Ia kembali berhasil menewaskan seorang tentara Serbia dari jarak sekitar 2 meter saja dari mulut bunker sebelum akhirnya syahid oleh sebuah tembakan musuh yang mengenai tepat di keningnya.

Dalam operasi militer tersebut, pasukan Mujahidin Bosnia juga berhasil merebut sebuah tank Serbia. Namun tentara Bosnia tidak dapat mengoperasikannya, sehingga mereka memberitahukan lewat radio kepada al-Battar al-Yemeni, seorang Mujahidin asal Yaman yang pernah menjadi komandan pasukan tank Angkatan Darat Yaman. Mendengar kabar tersebut, al-Battar al-Yemeni yang tengah berada di garis belakang karena tangannya terluka, segera kembali ke medan pertempuran. Tentara-tentara Serbia pun berupaya keras untuk menghancurkan tank yang berhasil direbut pihak Mujahidin, dan saat al-Yemeni sampai, ia bersama seorang Mujahidin yang tak dikenal segera berlari menuju ke arah tank tersebut, namun sayangnya ia berhasil dipukul mundur dan akhirnya syahid oleh ledakan sebuah peluru mortir ketika tengah berupaya mengevakuasi seorang pejuang yang terluka dari dalam sebuah banker yang berhasil direbut.

Meskipun sejumlah besar Mujahidin syahid, namun operasi militer tersebut berlangsung sukses. Unit-unit tentara Serbia yang berlindung di dalam parit-parit pertahanan, keluar dan berlarian ke dalam hutan untuk menghindari serangan pasukan Mujahidin. Sebagian yang lainnya terpaksa menyerah setelah dikepung dan dikurung. Dengan hadiah bogem mentah dan tendangan, Tentara Bosnia dan para Mujahidin segera meringkus dan menggiring tentara-tentara Serbia itu untuk berbaris menuju ke desa Livade. Sesampainya di desa Livade mereka pun diidentifikasi dan diinterogasi untuk mengetahui siapa-siapa saja unit-unit tentara Serbia (VRS) yang terlibat dan bertanggung jawab dalam penghancuran masjid di Prijedor, Banja Luka, dan Bosanska Krupa, juga siapa saja yang telah memperkosa wanita muslim Bosnia.

Selain bertempur, para Mujahidin juga memang menegakkan hukum, dimana konsekuensi atas kebiadaban dan kebrutalan tentara Serbia di awal perang harus dibayar. Tidak hanya dalam Operation Miracle, setiap keberhasilan operasi ofensif merebut dan menguasai kembali kota-kota dan desa-desa kaum muslim Bosnia, unit-unit tempur pasukan Mujahidin bersama dengan warga muslim Bosnia secara aktif mengidentifikasi para tawanan yang terdiri dari para tentara atau warga sipil Serbia (milisi bersenjata) yang terlibat dalam kegiatan pembantaian dan pemerkosaan masal wanita muslim Bosnia. Mereka yang teridentifikasi akan segera diproses secara hukum Islam (qishas). Para tawanan Serbia yang diketahui terlibat dalam kegiatan pembantaian dan pemerkosaan masal kemudian segera dipisahkan dari tawanan yang lain, disuruh berbaris, dan dipenggal kepalanya satu-persatu tanpa ampun.

Menyaksikan kemajuan Tentara Muslim Bosnia bersama para Mujahidin yang demikian pesat, tidak hanya pihak Serbia dan Kroasia yang khawatir, tetapi juga Uni Eropa dan PBB pun merasa cemas, karena kebangkitan sebuah negara Islam yang disponsori oleh kaum Islam radikal (kaum Mujahidin) di benua Eropa merupakan ancaman serius tersendiri bagi mereka. Melawan atau memerangi kaum Mujahidin jelas merupakan upaya yang tidak efektif karena akan sangat menguras tenaga dan memakan waktu yang berkepanjangan. Akhirnya PBB dan NATO yang semula tidak begitu peduli dengan krisis yang terjadi di Bosnia segera turun tangan. NATO mulai berpura-pura menekan Serbia dengan melakukan serangan udara untuk menghentikan pertikaian, sekaligus berupaya meraih simpati kaum muslim Bosnia dan mengklaim kemenangan kaum Mujahidin, padahal tak jarang serangan udara NATO tersebut justru malah membuka koridor bagi pasukan Serbia agar bisa selamat dari serangan kaum Mujahidin. Sementara PBB dan Uni Eropa mulai memprakarsai perundingan damai untuk membantu Serbia sebelum kaum Mujahidin menguasai lebih banyak lagi wilayah Bosnia yang masih dikuasai oleh Serbia.

Ketika kaum muslim Bosnia telah berhasil menguasai kembali 51% wilayahnya, PBB dan negara-negara barat mulai gencar memberikan tekanan-tekanan politik dan ekonomi kepada pemerintah Bosnia. Mengingat embargo PBB dan krisis ekonomi yang begitu mencekik rakyat Bosnia, akhirnya membuat pemerintah Bosnia bersedia menerima dan menandatangani Perjanjian Dayton di Paris pada bulan Desember 1995 untuk mengakhiri peperangan. Namun buntut dari perjanjian damai tersebut sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin. Wilayah Bosnia dipecah menjadi dua negara bagian, yaitu Federasi Bosnia (berisikan warga etnis Bosnia dan Kroasia) dengan luas wilayah 51%, dan Republik Serbska (berisikan warga etnis Serbia atau Serbia-Bosnia) dengan luas wilayah 49%. Selain itu, untuk menekan dan menghilangkan pengaruh Islam radikal di Eropa, PBB dan Uni Eropa meminta kepada pemerintah Bosnia untuk mengkhianati persaudaraan mereka dengan kaum Mujahidin dengan mendeportasi atau mengekstradisi para Mujahidin ke negara asalnya masing-masing. Sebagian kemudian bahkan dikenai tuduhan telah melakukan kejahatan perang karena telah menghukum pancung tentara dan warga sipil Serbia yang ditawan.



Mengetahui hal tersebut, para Mujahidin pun menolak adanya gencatan senjata ataupun perjanjian damai, baik dengan Serbia maupun Kroasia. Mereka mulai menyerang pasukan NATO dan PBB yang hendak mengambil alih keadaan. Usai Perjanjian Damai Dayton yang disponsori oleh Amerika yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Bosnia, memang mulai berdatangan pasukan NATO dan PBB dengan dalih untuk menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah Balkan. Karena tidak adanya lagi dukungan dari pemerintah Bosnia, perlawanan kaum Mujahidin pun meredup. Pasukan NATO kemudian memaksa para Mujahidin untuk enyah dari wilayah Bosnia, dan sebagian ditangkap atau diekstradisi ke negara asalnya sebagai penjahat perang. NATO benar-benar ingin membersihkan pengaruh Islam radikal dari wilayah Eropa. Termasuk mereka yang diekstradisi ke negaranya adalah Sheikh Abu Abdul Aziz, komandan pasukan Mujahidin yang telah begitu sangat berjasa bagi kaum muslim Bosnia. Informasi terakhir menyebutkan bahwa Sheikh Abu Abdul Aziz telah mendekam di sebuah penjara di Arab Saudi, dan sejak itu tidak diketahui lagi dimana dan bagaimana kondisi keadaan beliau yang sebenarnya.

Itulah akhir dari perjuangan kaum Mujahidin di Bosnia. Meskipun berakhir tragis dan ironis, namun perjuangan mereka memberikan hikmah pelajaran tersendiri bagi kita semua sebagai umat Islam, untuk lebih mewaspadai dan menyadari siapa kawan dan lawan kita yang sebenarnya. Dunia internasional tampaknya ingin menghapus jejak sejarah perjuangan mereka yang begitu besar bagi kemanusiaan, dan kaum muslimin di seluruh dunia pun banyak yang telah melupakan jasa-jasa besar mereka, namun apa yang mereka lakukan akan selalu dikenang dan tercatat dengan tinta emas oleh orang-orang yang mengetahui dan mengenal siapa mereka yang sebenarnya. (***)

Daftar Pustaka
Hamdi, Abu. 2006. Mereka yang Dipilih Allah: Biografi dan Karomah Syuhada Jihad Bosnia. http://www.abuhamdi.wordpress.com